Mendung Hitam itu Seperti Bayangan Bapak

CERPEN ANAS S. MALO

Ketika aku melihat bapak sedang memukul ibu, hatiku bagaikan tersayat pisau tajam. Bapak seperti kerasukan setan saat menganiaya ibu. Waktu itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain memendam amarah atas perilaku bapak. Hatiku hancur melihat ibu babak belur.

Malangnya nasib ibu, setelah ibu meninggal, lantas orang-orang tidak mau merawat jenazahnya. Menurut mereka, bagi orang yang mati bunuh diri, jenazahnya tidak perlu dirawat.

Di usiaku yang masih enam tahun, aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa ibu bukan mati bunuh diri.
Orang-orang melongo. Semua mata tertuju padaku.

“Apa yang kau katakan!” ucap Bapak bernada tinggi.

Pelupuk mataku menggenang. Mataku menatap bapak dengan penuh kebencian. Orang-orang mengisyaratkan agar aku mengucapkan sesuatu. Dada sesak dan mataku terasa panas.

“Ibu dibunuh. Ibu diracun!”

Setelah itu, sebuah tangan perkasa mendarat di pipiku. Terasa panas dan ngilu. Beberapa orang menghadang bapak untuk tidak terus-terusan memukuliku. Bapak terus mengucap sumpah serapahnya, mengutuki anaknya sendiri. Ia bilang, aku adalah anak setan, babi, asu buntung, anak lonte.

Hal itulah yang membuat kenangan-kenangan buruk tentang bapak berubah menjadi sebuah gumpalan awan hitam, membentuk angin puting beliung di dadaku. Sampai kapan pun, peristiwa itu tidak bisa terhapus dari ingatanku.

Ketika bapak pulang ke rumah dalam kondisi mabuk, ia benar-benar seperti kerasukan setan. Ibu sering kali hampir terbunuh oleh kebengisan bapak.

Minuman keras telah meracuni akal sehat bapak sehingga ia berani mencekik leher ibu. Untung ibu bisa melepaskan diri dari cengkeraman bapak dan berlindung di bahu nenek.

Lihat juga...