Mendung Hitam itu Seperti Bayangan Bapak

CERPEN ANAS S. MALO

Sering kali, aku melihat ibu dan bapak bertengkar hebat. Puncaknya ketika tiga hari sebelum ibu meninggal, setelah bapak tidak pulang ke rumah selama dua hari.

Aku pun sebenarnya tidak mau mengingat-ingat lagi kejadian ibu dianiaya bapak, tetapi, ingatan itu selalu muncul di waktu-waktu tertentu. Aku ingat, bibir ibu berdarah akibat lemparan sepatu. Dan bapak berteriak-teriak, berkata kasar mengutuk Ibu.

“Perempuan tidak berguna. Dasar perempuan pincang!” teriak bapak.

Bapak selalu merundung ibu. Mem-bully istrinya sendiri, seorang perempuan yang menjadi ibu dari anak semata wayangnya. Dan hal itu di antara sikap bapak yang aku benci. Ia tidak hanya melukai fisik ibu, tetapi ia juga melukai psikologis ibu.

Dua hari sebelum ibu meninggal, ibu sempat sakit. Vertigonya kumat. Ia sering mengeluhkan kepalanya sakit dan merasa seperti sedang berputar-putar. Tetapi ibu tidak mungkin mengakhiri hidupnya karena lelah dengan penyakitnya.

Aku sangat mengenal ibu. Ia perempuan yang taat, tidak pernah meninggalkan sembahyang kecuali ada uzur. Perangainya juga baik. Dengan mertuanya juga sangat baik.

Tidak mungkin ibu melakukan tindakan pengecut seperti itu. Ia perempuan yang kuat. Menghadapi kelakuan bapak yang ugal-ugalan saja kuat, apalagi hanya karena penyakit vertigo.

Nasib ibu saja yang kurang beruntung memiliki suami yang buruk akhlaknya. Orang-orang dusun juga tahu jika bapak adalah orang yang tidak baik. Mereka juga tahu bahwa bapak sering berlaku kasar kepada ibu.
***
Aku ingat betul, jenazah ibu hampir tidak dirawat karena mati bunuh diri. Menurut orang-orang, kematian karena bunuh diri dianggap sebagai kematian yang hina, tidak pantas untuk dirawat dengan baik. Tidak perlu dimandikan, tidak perlu dikafani, tidak perlu disalati.

Lihat juga...