Ummat Islam Indonesia: Konsolidasi ke Dalam, Proaktif ke Luar
Oleh: Abdul Rohman
JAKARTA, Cendana News – Apa makna keberadaan ummat Islam Indonesia sebagai sebuah komunitas muslim terbesar di dunia saat ini?
Di balik keterjebakannya akhir-akhir ini pada diskursus “Islam Politik” dan “Islam Otentik”, atau “Islam substantif”, ummat Islam Indonesia sudah semakin mapan dalam dakwahnya melalui manajemen pendidikan modern.
Pesantren-pesantren telah bertransformasi dan melengkapi dirinya dengan pendidikan science, yang memungkinkan lulusannya melanjutkan ke universitas-universitas ternama.
Sekolah-sekolah hybrid (perpaduan antara sekolah agama dan science) tumbuh di mana-mana.
Sekolah-sekolah bercorak nasional murni, menjadi kurang tren lagi. Sejumlah sekolah negeri kekurangan siswa.
Jika era wali songo merupakan era pengenalan kembali terhadap Islam, dilanjutkan era perjuangan melawan kolonialis dengan salah satu misinya, gospel.
Maka era kemerdekaan bisa dikatakan sejak era Orba (karena era Orla belum sempat membangun secara komprehensif), sistem pendidikan bangsa ini, termasuk pendidikan bagi ummat Islam sudah semakin maju.
Majunya pendidikan itu akan membuat kategorisasi Cliffort Geert, tentang masyarakat Indonesia yang terdiri dari Priyayi, Santri dan Abangan, akan sepenuhnya hilang atau semakin tidak tampak.
Jika yang dikatakan santri adalah orang-orang yang bergairah belajar agama Islam, dan kemudian menjalankannya, maka segmen masyarakat yang dulu tidak terkategori santri, akan menjadi santri semua atau mayoritas santri.
Anak-anak orang abangan dan priyayi kini banyak berbondong-bondong sekolah agama, atau sekolah hybrid.
Hanya secara politik saja kategorisasi Geert ini barangkali bertahan. Namun di segmen itu (abangan dan priyayi), semakin tekun beribadah yang tidak berbeda dengan kaum santri.