Luka di Hati Parto

CERPEN JANSEN WILLIAM

Lalu perempuan itu pun diantar Pak Poltak yang sebenarnya antri di barisan kedua. Pak Poltak amat kegirangan ketiban rejeki. Buka dasar di pagi hari. Menurut kata hati Pak Poltak, rejekinya adalah rejeki si jambang bayi yang tengah dikandung istrinya tercinta.

Parto duduk bermalas-malasan di jok ojek sepeda motornya. Roman wajahnya tampak seperti benang kusut yang berserakan di lantai. Atau roman wajahnya itu tampak seperti wajah langit sedang mendung kelabu.

Yah, semangat Parto benar-benar luntur mengemban profesinya sebagai penarik ojek sepeda motor. Penyebabnya, tak lain tak bukan, karena gadis penjual pisang goreng tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi di sudut toko besi itu.

Parto turun dari ojek sepeda motornya. Kemudian melangkah menuju bangku panjang sembari bayang-bayang gadis penjual pisang goreng berseliweran di benaknya. Sampai-sampai, Parto menampik rejeki dan dialihkannya kepada Pak Poltak.

Nopo sampean, To?! Nopo raimu ketok mutung?! Ono opo, To?!” (Kenapa kamu? Kenapa wajahmu murung? Ada apa?) tanya Pak Ponirin yang juga penarik ojek sepeda motor yang duduk berdekatan dengan Parto di bangku panjang itu. Memang, Pak Ponirin belakangan ini sangat prihatin dengan keadaan Parto yang awut-awutan.

Mboten nopo-nopo, Pak De (tidak apa-apa),” jawab Parto sembari ogah-ogahan duduk di bangku panjang, sembari memikirkan gadis penjual pisang goreng. Namun kemudian, Parto tersentak, lalu mendekati Pak Ponirin.

“Ketika Pak De mengantar gadis penjual pisang goreng itu apa tak menanyakan nama dan alamat rumahnya?” tanya Parto sangat serius menatap Pak Ponirin.

Sementara Pak Ponirin langsung paham tujuan dari pertanyaan Parto. Ketika gadis itu masih berjualan pisang goreng, Pak Ponirin sering membeli pisang gorengnya, bahkan beberapa kali mengantarnya pulang.

Lihat juga...