Prabowo, Figur Tengah dan Momentum Geopolitik

Oleh: Abdul Rohman

Prabowo kala itu sudah banyak digadang-gadang sebagai salah satu “kuda” yang berpacu dalam kontestasi kepemimpinan nasional pasca Presiden Soeharto.

Pada saat gerakan reformasi 1998, Prabowo mereposisi kedekatannya dengan tokoh-tokoh reformasi.

Para tokoh itu menuntut suksesi Presiden Soeharto. Gerakan-gerakan demonstrasi mahasiswa yang menuntut suksesi tidak jarang menampilkan parodi pembangkangan Prabowo kepada mertuanya, Presiden Soeharto.

Kelak pasca reformasi, ia mengklarifikasi. Kedekatannya dengan para penggerak suksesi seperti Amin Rais adalah upaya agar mertuanya itu soft landing dalam mengakhiri jabatan. Berhenti dengan terhormat di akhir jabatan.

Mana yang benar? Pembangkangan halus atau hidden agenda?

Kita tidak bisa berspekulasi lebih jauh. Jawaban dari sumbernya itulah yang bisa kita jadikan pijakan.

Ketika Presiden BJ Habibie menggantikan Presiden Soeharto, Prabowo diganti posisinya sebagai Pangkostrad.

Ia dikhawatirkan hendak melakukan kudeta. Panglima ABRI kala itu Jenderal Wiranto. Inilah klimaks karier militer Prabowo yang sebelumnya ramai disebut-sebut sebagai The Rising Star.

Prabowo dalam rentang panjang juga dipersalahkan atas kerusuhan rasial Mei 1998.

Ia dituding berbagai pihak sebagai yang bertanggung jawab atas kerusuhan itu.

Serangkaian klarifikasi dan etikat baik Jenderal Prabowo untuk lepas dari stigma itu tetap saja sulit meyakinkan publik.

Mungkin sampai yang dituding bosan mengklarifikasinya lagi. Opini itu lama-lama reda.

Setelah sempat menetap di Yordania, Prabowo kemudian ikut kontestasi peruntungan politik di dalam negeri.

Ia berusaha merebut Golkar. Tapi, gagal. Ia kemudian mendirikan Gerindra. Sejak itu ia tidak lepas dari kontestasi politik dalam perebutan puncak kekuasaan pemerintahan Indonesia.

Lihat juga...