Prabowo, Figur Tengah dan Momentum Geopolitik

Oleh: Abdul Rohman

Prabowo maju sebagai calon wakil presiden, dan Megawati sebagai calon presidennya. Pasangan ini gagal dalam Pemilu tahun 2009.

Ketika menjadi presiden, Mega dinilai ugal-ugalan mengelola negeri. Aset-aset strategis bangsa banyak dijual. Sejumlah pulau lepas dari Indonesia.

Mega kalah pamor dari SBY. Nama terakhir inilah yang kemudian menjadi Presiden kembali. Prabowo ikut gagal bersama Mega.

Tahun 2014, dan 2019 Prabowo menjadi calon presiden. Dua kali Jokowi pemenangnya. Inilah yang disinggung Jokowi di awal tulisan ini. Dua kali memenangi kontestasi melawan Prabowo.

Apa penyebab kemenangan Jokowi dan kekalahan Prabowo? Tentu menarik dianalisis.

Dalam perebutan basis massa umat Islam, Jokowi memperoleh dukungan kelompok Islam kultural dari kalangan NU. Jokowi bahkan memberi konsesi Hari Santri kepada kaum Nahdhiyin.

Sementara Prabowo memperoleh dukungan dari kalangan kelompok Islam yang dianggap cenderung kanan.

Bahkan, para pendukung Prabowo dinilai mengakomodir Islam garis keras seperti HTI dan Wahabi. Satu kelompok yang NU sebagai pemilik massa terbesar sangat resisten.

Stigma ini barangkali melekat pada Gerakan 212 yang mendukung Prabowo. Di dalamnya disinyalir ada elemen-elemen eks HTI dan Wahabi-Salafi. Jumlahnya tidak banyak. Tapi, sangat aktif.

Maka terlekatilah Prabowo yang sejatinya nasionalis itu sebagai bersahabat dengan HTI-Wahabi-Salafi.

Isu wahabi lebih mengerikan dibanding isu PKI bagi kalangan Nahdiyin.

Kehadiran NU sendiri merupakan antitesa atau kontra gerakan dari Wahabi.

Akibatnya, massa akar rumput NU yang awalnya tidak sedikit mendukung Prabowo menjadi balik badan mendukung Jokowi. Itulah kenapa Jokowi unggul di Pilpres 2014 dan 2019.

Lihat juga...