Obsesi Arthur menjadi serigala memuncak ketika purnama merah tampak jelas dari jendela kamar. Dongeng ayah di masa kecil tentang kawanan serigala yang sedang memburu rusa terus bergumam di kepalanya. Kemudian diikuti adegan ayah yang seolah siap menembak kedua hewan itu.
Ayah memang sosok yang aneh, sudah seharusnya ketika berburu ia cukup mengincar salah satu saja. Namun karena pengalaman di medan perang, setiap kali dongeng itu diceritakan kepada Arthur sudah pasti anaknya harus menjadi sosok yang mati. Begitu terus, sampai di mana kisah berkutat di rawa-rawa.
Kawanan serigala dan para rusa panik berlarian ke berbagai sudut. Auman serigala terus bersahutan pertanda adanya sebuah ancaman. Mereka seperti sedang mengatur strategi untuk menemukan siapa yang menggagalkan rencana menghabisi para rusa.
Tak lama kemudian mereka berhenti mengaum, mengendap-endap, mencari dari mana suara yang mengagetkan itu berasal. Keberadaan pemburu terendus sekira bau yang terasa asing menghardik penciuman mereka. Sekali lompatan, pemimpin kawanan serigala yang tak rela anggotanya mati menerkam dan mencabik-cabik sang pemburu.
Berselang kemudian, ayah yang telah berbaring di sisi Arthur melanjutkan dongeng dengan bau air rawa yang berubah menjadi anyir. Kawanan serigala itu lahap menikmati buraian perut sang pemburu.
Hari yang indah telah datang, sebab para bayi serigala mengenal siapa yang mengancam mereka. Pada saat itulah, ia mendapat kecupan dari ayah sembari mendengar bisikan: kelak ketika dewasa Arthur harus menjadi satu di antara kawanan serigala yang mengerti keadaan.
Lekas suara auman mengantar Arthur terlelap. Ia bermimpi melihat seekor pemimpin serigala mati diterkam kawanan lain. Sisanya tak jauh berbeda, tergeletak bersimbah darah.