Widuri
CERPEN ANA ANJANI
Rintik hujan yang berjatuhan itu membasahi kaca mobil. Titik-titiknya berkerlip terkena cahaya lampu taman, sementara rumah gelap dengan jendela-jendela tertutup rapat. Suamiku memarkirkan mobil itu di garasi. Aku keluar, membuka pintu sendiri. Tanpa sengaja, kulihat bayanganku di kaca spion.
Begitu cepat waktu berlalu. Rambutku hitam legam, tapi itu adalah hasil semiran. Ada beberapa helai yang terlewatkan, warnanya putih keabuan.
Wajahku bukan lagi wajah yang kukenal. Keriput di dahi dan garis senyumku berlipat-lipat. Kulitku seperti menyerah melawan gravitasi, tertarik ke bawah menyerupai gelambir.
Kudengar suara pintu terbuka dan suamiku tergopoh-gopoh menghampiri. Jalannya lamban dan punggungnya bongkok, jauh sekali dengan atlet tenis muda yang empat puluh tahun lalu mengundangku menonton permainannya, tempatnya berjaya di lapangan.
Kami berdua sudah begitu tua dan renta. Sulit mempercayainya, padahal baru kemarin rasanya aku memegang tangannya dan melihat masa depan di matanya.
“Ayo masuk. Di sini dingin,” katanya.
Lampu-lampu dinyalakan. Ruang tengah itu wangi oleh parfum melati. Aku duduk di sofa, mengistirahatkan punggungku yang lelah. Perhatianku tertuju pada foto-foto dalam figura keemasan.
Tahun ini anak pertama James masuk sekolah dasar. Tahun lalu, anak kedua Linda baru saja lulus kuliah. Tapi, dalam foto-foto itu mereka selamanya hanyalah bocah-bocah yang berlarian, membeku dalam tawa.
Suamiku membawakanku segelas air. Aku menolaknya, karena aku sama sekali tidak haus. “Kau harus minum. Kau baru saja mengalami shock.”
“Aku tidak shock,” kataku, “Kita ini sudah tua. Memang sudah saatnya terkena penyakit yang macam-macam.”
Seperti contohnya, kanker.