Widuri

CERPEN ANA ANJANI

Aku sudah tahu bahwa ada yang tidak beres. Semua gejala yang kualami bukanlah sesuatu yang biasa, dan aku merasa begitu lelah, serta tubuhku begitu ringan. Baju-bajuku mulai longgar, jariku gemetar dan berjalan sedikit saja sudah membuatku kehabisan napas. Aku bisa merasakan keabadian mendekat.

Dokter yang memberiku diagnosis adalah seorang spesialis yang sudah berpengalaman. Seperti semua dokter lainnya, dia berusaha memberiku harapan. Tapi, bahkan dengan pengetahuan medisku yang terbatas pun aku tahu bahwa waktuku tidak banyak.

Dia menyarankan banyak hal, termasuk juga kemoterapi, namun aku rasa aku tidak ingin membuang-buang waktu. Suamiku berbicara panjang lebar dengan dokter itu, membuat rencana-rencana.

Sementara mereka mengobrol, aku mengamati ruangan dokter itu. Warnanya yang putih bersih, jam di atas meja, sebuah figura kaca yang berisi foto keluarga.

Dokter itu masih muda, mungkin baru berada di awal usia empat puluhan. Anak-anaknya masih kecil dan istrinya adalah seorang wanita cantik dengan senyum lebar yang penuh gigi.

Dalam foto keluarga itu, ia dan istrinya menggendong anak-anak mereka. Aku tersenyum. Pikiranku tertuju pada James dan Linda.

“Mereka harus diberitahu,” kata suamiku. Lamunanku terputus dan aku menganggukkan kepala.

“Ya, tapi kita harus mencari waktu yang tepat. James sedang mengunjungi mertuanya sampai akhir pekan. Lebih baik minggu depan kita ajak mereka makan malam. Aku ingin memberitahu mereka secara langsung. Jangan lewat telepon.”

Suamiku tidak mengatakan apa-apa, tapi aku bisa melihat kekhawatiran di matanya. Alisnya yang abu-abu berkerut. Aku menepuk tangannya yang kisut.

Lihat juga...