Widuri
CERPEN ANA ANJANI
“Sudah, jangan memikirkan yang tidak-tidak. Lebih baik setel musik saja. Supaya tidak sepi.”
Dia membuka mulut untuk protes, tapi kemudian menutupnya lagi. Dengan perlahan, dia mengangkat badannya itu dan berjalan menuju ke alat pemutar musik.
Orang mungkin akan kesulitan untuk mempercayai bahwa lelaki tua yang bongkok itu, yang jalannya beringsut lambat dan pinggul serta lututnya dipasang pelat baja, dulu pernah berlari-lari dengan begitu lincah di lapangan.
Tangan dan kakinya kekar, wajahnya yang kecokelatan mengerut penuh konsentrasi. Dia mengayunkan raketnya yang menghantam bola kuning itu dengan begitu keras. Sekarang, lelaki itu bahkan sudah terengah hanya karena membungkukkan badan. Suamiku mengeluarkan tempat penyimpanan kaset. Ia menghabiskan waktu mencari-cari sesuatu.
Ia menarik sebuah kaset yang berada di baris paling belakang. Wajahnya menjadi berseri. Kertas pembungkusnya berwarna biru muda, ‘Best of Bob Tutupoly’ tercetak dalam huruf yang sudah pudar.
Ia kesulitan memasukkan kaset itu ke alat pemutarnya. James yang membelikan alat itu setahun yang lalu sebagai hadiah pernikahan kami. Suamiku masih sering kesulitan menggunakannya, sedangkan aku sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Tapi, pada akhirnya alat itu bekerja juga, dan terdengar alunan musik yang akrab.
Aku mengangkat kepala. Kulihat suamiku mengulurkan tangannya.
“Widuri?” tanyaku.
Dia mengangguk, ekspresinya seperti anak kecil. “Dansa pertama di pernikahan kita.”
Aku menyambut tangannya itu.
Mendadak, aku kembali ke hari pernikahan kami.
Saat itu, aku menggunakan gaun putih yang panjang, rambutku ditutupi cadar transparan. Kami begitu muda, dengan kehidupan yang terbentang seperti tanpa batas.