Widuri
CERPEN ANA ANJANI
Gedung pernikahan itu dipenuhi bunga-bunga krisan dan mawar putih. Teman-teman terbaikku menemaniku sebagai bridesmaid, mereka tampak begitu cantik dalam balutan gaun abu-abu keperakan.
Kedua orang tuaku duduk di sofa panjang berpelitur, begitu pula orang tua suamiku. Aku menuruni tangga, jantungku berdebar kencang. Di bawah, suamiku sudah menunggu.
Dansa pertama itu, dengan musik yang dipilih sendiri oleh kami berdua. Suamiku suka sekali memutarnya di mobil, ketika kami berkencan dan berkendara sampai malam, berbohong pada orang tuaku bahwa kami tersasar sampai ke luar kota, padahal yang kami lakukan adalah mendengarkan musik di bawah langit yang gelap, memandangi rembulan.
Suamiku memegang tanganku, dan jari-jarinya itu terasa begitu kokoh. Dia adalah jangkarku. Aku menambatkan diriku padanya. Peraduanku dari laut yang menggelegak dan badai yang tidak pernah berkesudahan. Aku adalah miliknya, seperti dia adalah milikku.
Tangannya merangkum pinggangku, tubuhnya terasa begitu hangat. Dia menyelipkan jari-jarinya di antara jemariku. Kami berdansa, mengikuti alunan lagu itu. Dansa itu seperti tidak pernah berakhir.
Aku membuka mata dan kulihat nanar di mata suamiku. Tapi, di balik keriputnya, di balik tubuhnya yang sudah digerogoti usia, di balik tangannya yang ringkih, dia masihlah lelaki yang sama.
Mataku basah. Tak dapat kubayangkan harus meninggalkannya. Tapi, itulah kenyataannya. Empat puluh lima tahun ini, kami sudah berbahagia. Semua pertengkaran kami, semua memori yang sudah kami torehkan, semua kekhawatiran dan praduga, semuanya jadi kelihatan begitu kecil dan tidak nyata.