Latto-latto dan Perayaan Benturan
Oleh: Abdul Rohman
Tanggal 29 Desember saya masuk lagi ke Jakarta. Menyusuri kembali jalan Bangka Jaksel. Ternyata banyak juga anak-anak main “Athak-athak…athak-athak…thak…thak…thak”. Bergerombol 3-4 orang mengisi waktu senggang libur sekolah.
Tahun baru, saya ke Bogor. Ternyata ketemu juga anak-anak main “Athak-athak…athak-athak…thak…thak…thak”.
Alun-alun Kota Bogor (Taman Topi). Sekitaran Kebun Raya. Ciomas. Banyak anak-anak main “Athak-athak…athak-athak…thak…thak…thak”. Banyak juga yang jualan.
Di Taman Topi itu anak saya yang masih belum genap dua tahun, menuding penjual “Athak-athak…athak-athak…thak…thak…thak. Ternyata ia minta mainan itu. Harganya satu Rp10.000.
Dipeganglah mainan itu tidak lepas-lepas. Bahkan sampai keliling mutar Alun-alun. Masuklah saya pada dunia “Athak-athak…athak-athak…thak…thak…thak” itu.
“Mainan tren”, pikir saya. Saya tanya sana sini, mainan apa itu? Ternyata sudah viral di media sosial.
“Latto-Latto”, kata istri saya. Ternyata bukan mainan lokal Selorejo, Malang seperti asumsi awal saya.
Anak-anak kecil, tua, muda, memainkannya. Mainan ini menembus segala strata. Harganya murah, tapi dimainkan siapa saja.
Ada yang mengatakan “Latto-Latto”, mainan dari tradisi Koboi. Ada yang mengatakan itu mainan tradisional Bugis. Dulu tahun 1960-70-an sempat tren. Kini, muncul lagi.
Siapa pemicu tren “Latto-Latto?” Pasti punya visi bisnis yang hebat.
Bola-bola dalam mainan ini produk prabrikan. Dari Malang sampai Bogor, sama. Tentu dibuat pabrik. Bukan mainan yang dibuat sendiri.
Sebelum saya ke Jatim tanggal 20 Desember, mainan itu belum popular.
Saya belum menjumpainya di jalan Bangka Jaksel. Tidak sampai dua minggu, mainan itu sudah popular.