PERANGKAP MENTAL
Oleh: Prof. Dr. Bustami Rahman, M.Sc
Parah mentalitas anak negeri ini. Makin ke sini dan ke depan, korupsi berbiak masif bagaikan berternak virus.
Untuk bahan renungan. Di zaman orangtua kita dulu, orang jujur masih banyak. Ini anda pasti setuju. Kalau sedikit kata berbohong, berbual-bual, biasa lah itu. Namanya juga bunga pertemanan.
Namun, ini tidak sekedar aksesori pertemanan. Menipu telah menjadi kebutuhan hidup. Ketidakjujuran berbiak secara deret ukur dan pangkat kuadrat. Manakala, di tempat yang sama secara tertatih-tatih, nilai moral agama, adat istiadat, apalagi hukum positif dalam posisi yang stagnan, bahkan mungkin mundur.
Dengan sedikit emosional, bangga dan terharu, kita sering mendengar cerita masa lalu para pejuang yang jadi pejabat di Republik ini. Mereka digambarkan sebagai pejabat sederhana, jujur, tidak punya simpanan harta apa-apa kecuali isteri dan anak. Rumah mungkin ada dari warisan orangtua. Kebanyakan mereka kontrak atau dapat pinjam pakai dari Pemerintah, Demikian juga kendaraan. Jangan bayangkan sejenis ‘Alphard’ yg sekarang menjadi mobil biasa saja bagi pejabat. Beruntung bisa naik mobil. Sebagian masih naik kendaraan umum. Amboi, anda mungkin bilang negara waktu itu masih miskin, jadi pejabat pantas berbuat demikian itu. Sekarang sudah jauh lebih kaya, jadi pantas pejabat sedikit berpenampilan mewah.
Entahlah. Karena kalau kita katakan zaman itu ada juga yang berlaku tidak jujur dan ada juga yang mencuri uang negara, tidak juga bisa dibantah. Akan tetapi, sepakatlah kita bahwa jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding dengan yang jujur. Jadi, apa penyebabnya? Apakah jiwa pejuang berbeda dengan jiwa pembangun? Mengapa jiwa pejuang itu tidak berkelanjutan dan terus mengalir ke dalam hati dan pikiran generasi pembangun? Apakah para pejuang justru telah gagal awalnya meneteskan nilai dan sikap budaya kejujuran kepada generasi berikutnya? Benarkah demikian?