Sumur Tua
CERPEN MUHAMMAD THOBRONI
Halaman rumah Mbah Man berukuran 11 x 21 meter. Sangat luas. Tidak berpagar. Langsung bersambung dengan jalan kampung. Jalan itu sendiri hanya selebar 3 meter.
Di pojok barat selatan halaman itulah letak Sumur Tua. Disebut tua sebab memang usianya sudah tua. Digali pada zaman Majapahit.
Malah kata orang-orang, sumur itu sudah ada bakalnya sejak zaman kerajaan Dhoho. Atau malah zaman Ken Arok menguasai Singosari.
Karena itulah Mbah Man marah besar ketika terdengar kabar rencana Sumur Tua bakal diratakan. Bakal digusur.
“Mengganggu pemandangan, Mbah! Cobalah mengerti. Kampung kita butuh keindahan. Harus ditata. Lihatlah sumur itu sudah penuh lumut. Dindingnya retak-retak. Berbahaya! Perhatikan seksama, tiangnya degil begitu, Mbah!” ujar Urip, juru bicara pamong kampung.
Urip bekerja di kelurahan. Karena itu dia yang diminta maju menghadapi sepasang suami-istri Mbah Man. Ya, meski beda kelamin kedua lansia hampir seabad itu sama dipanggil Mbah Man. Baik lakinya. Atau perempuanya. Urip sendiri keponakan Mbah Man.
Dengan menunjuk Urip sebagai jubir harapannya rencana berjalan lancar. Tapi bak cinta bertepuk sebelah tangan. Keinginan itu langsung ditolak mentah-mentah. Bahkan Urip dan rombongan kena damprat.
“Kalian dengarkan!! Kalian anak-anak zaman sekarang hanya tahu hidup senang! Hanya kenal hura-hura di dunia maya! Hanya ngerti manis-manis gula depan layar kaca! Kalian generasi yang yang tak kenal darah dan air mata perjuangan!
Pantas kalian lemah. Wajar kalian melempem! Mana tahu kalian sejarah? Apa kalian ngerti warisan peradaban yang luhur? Tidak. Pasti tidak. Sebab mata kalian dibutakan kesukaan dunia. Telinga kalian ditulikan kemewahan. Hati kalian kelam oleh kemegahan yang menjadi lumpur jiwa!