Sumur Tua

CERPEN MUHAMMAD THOBRONI

“Kowe bocah sudrun! Jangan berlagak sok berani! Jangan jadi pahlawan kesiangan! Jangan mentang mentang kau keponakanku lantas aku tak tega menebasmu! Meratakan tubuhmu ke atas tanah. Menimbun bangkaimu di bawah kubur tanah!!! Mundur dan menyingkirlah. Sebelum habis kesabaranku. Kalian benar-benar membuat gula darahku naik!! Bikin emosi saja!! Minggir!!” teriaknya.

Urip tetap bertahan. Bergeming. Tak beranjak dari tempatnya berdiri. Para pamong lain pilih mundur teratur. Nyali mereka ciut. Tapi Urip ialah anak cucu Aria. Wiraraja. Ada darah Ksatria dalam dirinya. Dia tidak akan mundur. Sejengkal pun. Meski gepeng. Meski jadi tumbal perubahan!!

Nenek. Mbah mendengus. Marah melihat kelakuan keponakannya yang mbalelo. Ngotot. Tak mau diarahkan. Tombak diangkat tinggi. Diacungkan lurus ke arah batok kepala Urip. Mata nyala.

Tajam menghunjam. Sepersekian detik ujung tombak semacam sudah siap menguras Urip dan menumpahkan ke tanah. Hampir-hampir tak ada lagi peluang pembatalan. Tak ada lagi unsur semesta yang peduli nasib Urip. Akankah hari ini nyawa keponakan bakal lenyap di tangan bibi?

Ketika ujung tombak itu telah hampir bergerak melesat, terdengar teriakan Kakek Mbah Man.

“Tahan. Kau nenek tak tahu diri!! Jangan sembrono. Jangan egois. Itu keponakanmu sendiri. Memang mereka bodoh dan dungu. Tolol dan tidak cerdas cerdas. Tapi ada darah leluhur kita pada tubuhnya. Hentikan tindakan konyolmu! ”

Hebat. Teriakan itu seketika menahan gerakan tombak nenek Mbah man. Seperti dikunci mati. Nenek. Mbah man melengos kesal. Perlahan tombak turun ke tanah. Tangan melemas. Ujung tombak menempel dan menancap ke tanah.

Lihat juga...