Ketika Persiden SBY terpilih (2005-1014), partai demokrat menjadi saluran “gupak”. Saluran memperoleh percikan “lumpur kekuasaan”. Saluran mobilitas vertikal banyak pihak. Baik mobilitas vertikal dalam politik, bisnis, maupun jenjang karir birokrasi. Maka partai ini menjadi partai besar. Dikerubuti oleh massa pencari berkah kekuasaan. Dari pusat maupun daerah.
Begitu pula ketika Persiden Jokowi terpilih (2014-2024). PDIP mendapat giliran sebagai saluran “gupak”. Bahkan banyak calon kepala daerah tidak ragu-ragu terjun sebagai aktivis PDIP. Menjadi pengusung Idiologi Soekarnois. Agar ia diakui sebagai kader PDIP. Kemudian memperoleh beragam tiket mobilitas vertikal itu.
Berbeda nanti ketika calon PDIP kalah pilpres tahun 2024. Hukum “Cedhak Kebo Gupak” juga segera berlaku. Hukum itu bahkan bisa berlaku lebih cepat jika tanda-tanda kekalahan itu sudah tampak jelas. PDIP akan ditinggalkan sejumlah pendukungnya. Mencari saluran “gupak” yang lebih dekat dengan lumpur kekuasaan.
Bisa jadi akan pula menjadi momentum memudarnya hegemoni PDIP dalam jangka panjang. Seiring surutnya figur utama sosok Megawati Soekarnoputri. Dalam terminologi Jawa sering distilahkan “wahyune wes wayahe oncat”. Artinya, sudah saatnya energi kekuasaannya tercerabut.
PDIP merupakan pengusung idiologi Soekarnoisme. Maka atmosphere kehidupan berbangsa dipenuhi slogan Soekarnoisme ketika PDIP berkuasa.
Dukungan terhadap idiologi sekarnoisme menjadi bergemuruh. Entah dukungan soekarnoisme itu sesungguhan atau hanya sebatas dibajak untuk memperoleh saluran terdekat untuk “gupak”. Faktanya idiologi soekarnoisme menjadi mainstream dalam dua kali periode pilpres ini.