Bitung beberapa hari ini membara. Aksi bela Palestina dihadang ormas lokal dengan membawa bendera Israil, simbol pro zionis Israil. Ormas lokal itu juga mengusung spirit perlawanan pribumi.
Sebagaimana biasa, beragam tafsir, kepentingan dan idiologi berusaha menumpangi setiap masalah sensitif. Tafsir, idiologi dan kepentingan itu terkadang justru memperlebar aroma konflik. Istilah Jawa menyebutnya “Kriwikan dadi Grojogan”. Artinya masalah kecil kemudian menjalar menjadi besar dan membahayakan.
Muncul narasi perlawanan pribumi. Panggilan Jihad. Stigma agen Zionis. Mosad lokal. Yahudi pesek. Dan seterusnya.
Narasi-narasi seperti itu bisa membahayakan integrasi bangsa jika dibiarkan tanpa pengelolaan komunikasi sosial antar elemen secara baik. Menjadi bahan bakar pertengkaran horisontal yang mudah tersulut.
Bagaimana menjelaskan semua peristiwa itu. Bagaimana anatomi konfliknya?. Bagaimana solusinya?.
Sebagai disclaimer, tulisan ini tidak berdasar perinteraksian lapangan terkini. Akan tetapi didasarkan pada referensi perinteraksian masa lalu dengan penduduk lokal. Sejumlah catatan dan silang sengkarut informasi melalui media sosial. Maupun telaah sejumlah rerferensi.
“Gereja adalah Israil Perjanjian Baru”. “Perjanjian Lama adalah Israil”. Itulah pandangan sejumlah gereja. Sejumlah yang lain menyadari bahwa Yahudi menganggap kristen sebagai Pagan. Tidak ada harmonisnya. Bahkan beredar, Yahudi meludahi rombongan ummat Nasrani di kawasan Al-Aqso.
Itulah gambaran singkat kemuculan simbol-simbol pro Israil di Bitung.
Bukan di kota itu saja. Pemahaman itu menyasar area luas di Sulawesi Utara, Papua maupun Ambon dan NTT. Kawasan itu memang mayoritas berpenduduk Nasrani.