Titiek Soeharto, Mafia Pangan dan Cundrik Mataram

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Saya berangkat dari Solo. Kebetulan ada seorang wartawan yang hendak wawancara. Saya berangkat ke AGB bersama wartawan itu. Bertemu rombongan Mbak Titiek di AGB.

Seperti biasa, kedatangannya disambut dan ditemani pengurus makam. Kompleks makam di puncak gunung itu tidak gelap. Lampu-lampu menerangi setiap sudut kompleks makam.

Setelah singgah sebentar di rumah peristirahatan keluarga, di samping masjid AGB, Mbak Titiek ziarah ke makam Pak Harto dan Ibu Tien. Tahlil, baca Yasin dan kemudian tabur bunga. Saya ikut dari belakang.

“Ibu Titiek selalu ziarah malam-malam”, kata petugas makam. “Kalau tidak hujan biasanya lanjut ziarah ke atas. Tepat tengah malam di sana”. Lanjutnya.

“Ke atas “, maksudnya makam Astana Giri Layu. Makam raja-raja Mangkunegaran. Mangkunegoro III adalah leluhur Ibu Tien Soeharto. Ibu Tien masih trah Majapahit dari Mangkunegaran.

Perjalanan dari Kalitan Solo ke AGB – istirahat – ziarah ke Pak Harto dan Ibu Tien – istirahat – jalan satu kilo ke AGL, selalu diperhitungkan waktunya. Tepat tengah malam harus berada di AGL.

Usai Mbak Titiek wawancara dengan wartawan, saya dipanggil. Tepatnya lupa. Apakah di AGB atau di AGL. Sambil duduk di beranda makam. Ini kesempatan saya bisa ngobrol leluasa dengan putri dari Presiden yang saya demo pada tahun 1998 itu.

“Kamu berapa kali ke sini”, tanya Mbak Titiek. Baru sekali Bu…, yang malam-malam. Kalau siang juga sekali. Ke AGB”, jawab saya.

“Kalau saya ke sini biasanya malam. Kalau tidak hujan lanjut ke AGL”, Lanjut Mbak Titiek. “Ternyata Ibu pejalan malam juga”, sahut saya.

“Ah.. memang Wanita apaan saya ini”, timpalnya sambal berseloroh dan tertawa. Maksud saya, pejalan sepiritual malam Ibu”, timpal saya.

Lihat juga...