KEBERLANJUTAN VS GORO-GORO
Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Kontestasi kekuasaan di Indonesia, seringkali memunculkan ketegangan ekstrim. Terjadi dalam siklus periodik. Selalu berulang.
Kecenderungan itu dilatari atau diperkuat oleh madzhab goro-goro. Sebuah cara fikir datangnya masa kejayaan akan selalu didahului goro-goro. Arti bahasa Indonesianya adalah prahara, chaos atau kekacauan.
Goro-goro merupakan diksi salah satu sequel pewayangan. Wayang Purwo dalam tradisi Jawa. Perang antara kejahatan dan kebaikan.
Digambarkan bahwa kebaikan selalu akan menang. Sebelum kebenaran itu menang, akan selalu menemui hambatan. Kemenangan kebenaran memerlukan perjuangan dan pengorbanan. Kemenangan kebenaran akan selalu didahului oleh banyak tetesan darah dan air mata.
Itulah cara pandang madzhab goro-goro.
Mari kita simak kasus Indonesia merdeka. Awal kemerdekaan, Indonesia disibukkan mengusir penjajah. Hingga dikembalikannya wilayah Irian Barat ke pangkuan Indonesia tahun 1963.
Bukan berarti selesainya perang kemerdekaan, selesai pula problematika kebangsaan itu. Segenap bangsa tinggal fokus melakukan pembangunan. Ternyata tidak.
Ada pemikiran, “revolusi belum selesai”. Pemikiran itu datang dari PKI. Partai Komunis Indonesia. Maka digelar jalan revolusi menuju negara komunis. Meletuslah prahara 1965. Benturan antara pendukung komunis dan non komunis terjadi. Bangsa ini berdarah-darah.
Peristiwa itu diredam TNI dengan banyak korban. Dikembalikanlah jalannya pembangunan Indonesia berdasarkan idiologi yang disepakti. Pancasila sebagai konsensus. Muncullah rezim orde baru.
Pembangunan secara sistematis, bertahap, berkelanjutan dilakukan. Indonesia hendak dibawa ke dalam landasan kuat sebagai negara maju dalam dua kali PJP (pembangunan jangka panjang). Masing-masing tahap berlangsung selama 25 tahun. Blue print itu dikonsolidasi melalui BGHN.