Presiden Soeharto Saja Tumbang ?

Oleh : Abdul Rohman Sukardi

Narasi itu sering kita dengar pada masa reformasi. “Soeharto saja tumbang”. Muncul setiap ada gerakan oposisional anti rezim.

Narasi itu dicuatkan setidaknya untuk dua tujuan. Kepada elit rezim (eksternal) maupun pendukung oposisional (internal).

Pertama, mengancam/ menakuti/ menggertak, pendukung rezim/rezim berkuasa. Presiden Soeharto saja yang sangat berkuasa bisa ditumbangkan oleh gerakan rakyat. Apalagi rezim-rezim berikutnya yang tidak powerfull amat.

Maka jangan main-main dengan gerakan oposisional ini. Begitulah kira-kira inti pesan narasi itu.

Kedua, untuk membesarkan spirit para pendukung oposisi itu sendiri. Bahwa rezim saat ini tidak seberapa kuat dibanding dengan Presiden Soeharto. Maka jangan kendor berjuang. Jangan lelah. Rezim pasti bisa ditumbangkan dengan mudah.

Itulah pesan internalnya. Kepada pendukungnya.

Tapi kenapa gerakan itu selalu berujung kegagalan?. Khususnya pada rezim pemilu langsung. Gerakan opisisi belum terbukti mampu menumbangkan rezim?.

Setidaknya ada lima alasan.

Pertama, gerakan oposisi tidak beranjak dari “pisau analisa situasi” lama yang kadaluwarsa. Analisa kadaluwarsa itu didasarkan pada narasi lama, bahwa tumbangnya Presiden Soeharto oleh kekuatan rakyat. Mengabaikan peristiwa itu telah berjarak 2,5 dekade. Diketemukan beragam analisa yang menunjukkan analisa itu tidak akurat.

Krisis politik 1998 merupakan pertarungan lima kekuatan besar menunggangi krisis moneter dan ekonomi. Lima kekuatan itu, pertama kekuatan globalis. Hendak memperkuat cengkeramanya atas sumberdaya dan posisi strategis Indonesia.

Presiden Soeharto memiliki visi membawa kedaulatan Indonesia dalam dua PJP. Tahun 1997 memasuki PJP II. Indonesia di ambang berdaulat dalam pertanian maupun industri-industri strategis.

Lihat juga...