Makna Kepemimpinan Rakyat Sila Ke-4 Pancasila

 

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 asli menyebutkan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Locusnya jelas. Ketentuan itu diubah oleh UUD amandemen. Pasal 1 ayat (2) amandemen menyebut “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

 

Siapa implementator kedaulatan rakyat menjadi absurd. Tidak mungkin rakyat secara keseluruhan melakukannya. Keterhubungannya dengan sila ke 4 Pancasila juga terputus. Amanatnya, kepemimpinan rakyat harus dipimpin “hikmat kebijaksanaan” dalam “sistem permusyawaratan perwakilan”. Dibuat menjadi tidak jelas pada UUD amandemen.

 

Diskursus reformasi terjebak pada makna kepemimpinan rakyat dalam bentuk teknis rekruitmen belaka. Perdebatannya pada “pemilu langsung atau tidak”. Melupakan bahwa sistem MPR bukan semata teknis rekruitmen belaka dalam kepemimpinan bangsa.

 

Sistem MPR melibatkan rakyat dalam menentukan tujuan dan arah kehidupan bangsa. Melalui peranannya merumuskan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Tujuan dan arah itu yang harus dijalankan oleh Presiden dan jajaran eksekutif untuk diwujudkan. Di sinilah esensi kepemimpinan rakyat itu. Melalui wakilnya yang dipilih, rakyat menentukan masa depannya sendiri. Maka Presiden disebut Mandataris MPR (dalam UUD 1945 asli).

 

Apa bedanya dengan amandemen?. Ialah, rakyat disuruh memilih wakil-wakilnya. Memilih presidennya. Akan tetapi tidak dilibatkan untuk merumuskan arah dan kebijakan negara (GBHN). Peran dan fungsi ini dihapus dalam MPR. GBHN juga dihapus. Kebijakan dan program pembangunan didasarkan visi-misi presiden terpilih.

Lihat juga...