Mei 1998, Benturan Lima Kekuatan

Terhadap gerakan itu, terdapat narasi Tunggal. Gerakan reformasi merupakan perlawanan rakyat terhadap state. Tuntutannya adalah demokratisasi di segala bidang, berantas KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), akhiri dwifungsi ABRI, suksesi kepemimpinan nasional, perluasan otonomi daerah.

Pergeseran dari rezim orde baru ke reformasi begitu dramatis. Begitu cepat. Tidak terbayangkan sebelumnya akan berlangsung secepat itu. Maka narasi tunggal itulah yang menghiasai diskursus publik pasca 1998. Gerakan itu dianggap sebagai cerminan keberhasilkan menumbangkan rezim otoritarian oleh kekuatan rakyat.

Benarkah realitasnya begitu?. Hanya ada kekuatan tunggal, rakyat melawan state?.

Memasuki dekade ketiga reformasi, kita bisa secara leluasa melakukan analisis post factum. Berbagai referensi bisa kita himpun untuk menganalisa kejadian Mei 1998 itu. Peristiwa itu bukan konflik tunggal, rakyat vs state. Melainkan benturan lima kekuatan besar.

Pertama, misi penguasaan potensi dan sumberdaya strategis Indonesia oleh globalis. Orde baru merupakan mitra negara-negra barat melewati masa perang dingin melawan blok komunis. Tahun 1990-an, blok komunis runtuh. Pertengkaran dunia diganti oleh teori Hutington. Islam vs Barat.

Indonesia berpenduduk muslim terbesar. Dalam skema teori Hutington, bukan mitra strategis barat lagi.

Menjelang akhir tahun 1990-an merupakan masa keemasan Indonesia dalam panggung internasional. Berbeda dengan eranya Presiden Soekarno. Menggerakkan Asia-Afrika melalui spirit anti kolonialisme. “Politik jargon”. Slogan perlawanan.

Pada tahun 1990-an, Presiden Soeharto membawa peran Indonesia lebih terorganisir dalam panggung internasinal. Sebagai regional leader ASEAN, Ketua Geranan Non Blok, inisiator negara Selatan-Selatan, OKI. Misi internasionalnya terbaca jelas. Terwujudnya tata dunia baru yang lebih adil. Misi itu membentur privilage negara-negara barat yang sudah cukup establish.

Lihat juga...