Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Selama ini, narasi kemelut 98 didominasi hater Presiden Soeharto. Tuntutan mundur terhadapnya disebabkan KKN. Korupsi, kolusi, dan nepotisme. Otoriter. Militeristik. Pembangunan hanya melahirkan bubble economy, sehingga tidak tahan terhadap krisis. Semua narasi buruk dialamatkan kepadanya. Itulah narasi atas kemelut 1998 pada era reformasi.
Kita tidak pernah secara kritis melakukan telaah berbeda. Tentang posisi Presiden Soeharto pada sasat krisis 1998. Jika ada, itupun sangat jarang. Hanya sayup-sayup. Kalah oleh para hater.
Presiden Soeharto dan keluarganya juga bungkam seribu bahasa. Tidak melawan beragam narasi yang dihunjamkan dan menyudutkannya itu.
Pembantu-pembantu terdekat Presiden Soeharto juga tidak memberi pembelaan. Mereka lari tunggang langgang.
Orang-orang yang dibesarkan dan diuntungkan orde baru itu pada berebut mencari selamat. Agar tidak tersingkir posisi strategisnya pada pemerintahan yang baru.
Peristiwa itu telah 26 tahun berlalu. Cukup waktu bagi rakyat Indonesia untuk analisis post factum. Kenapa tudingan yang ditujukan kepada Presiden Soeharto itu justru lebih marak terjadi pada era reformasi.
Perilaku para korektornya justru lebih buruk dibanding orde baru. Peradaban KKN di Indonesia semakin marak pada era reformasi.
Sedangkan target menjadi negara maju masih jauh untuk ditempuh. Pertumbuhan ekonomi pun belum bisa setara orde baru. Gini Rasio atau kesenjangan kaya-miskin justru melebar.
Pertanyaan itu bisa kita jawab melalui sebuah dokumen. Sebuah video Temu Wicara Presiden Soeharto dengan Para Peserta Rakernas Departemen Tani dan Nelayan DPP GOLKAR di Tapos, Jawa Barat, 26 Juni 1994. Video itu bisa kita temukan di chanel youtube presiden files.