Bukit Soeharto, Cendana dan Pelestarian Lingkungan
Bukit Soeharto, Cendana dan Pelestarian Lingkungan
Bukit itu oleh Yayasan Damandiri dikembangkan sebagai pusat UKM. Tempat bekerja masyarakat desa. Sepeninggal Pak Subiakto, pengurus Yayasan yang baru meresmikannya. Sebelum terhenti oleh puncak pandemi covid, tidak kurang 80 UKM berjualan di tempat itu. Entah berapa omset penjualannya. Berapa tenaga kerja yang dilibatkan.
Saya memang belum ke tempat itu. Informasi Bukit Soeharto terus di suplai melalui whatsap sebagaimana pesan Ustadz Edi Sudjarwo itu.
“Sudah berkembang Pak. Bapak kalau lihat dulu, anak-anak pengelola itu pakai sandal jepit. Sekarang sudah memakai Sepatu dan baju bagus”, kata Utstadz Edi suatu ketika.
Setelah tanggal 8 Juni 2024, saya baca-baca media online. Ternyata Mbak Titiek juga meresmikan patung di tempat itu. Patung Jenderal Besar Soeharto.
Sudah selang 5 tahun perjumpaan saya dengan Ustadz Edi Sudjarwo. Ternyata kisah itu masih bersambung. Bukan saja memori “hotel mistik” tempat menginap yang tidak dilupakan. Tanpa disengaja, pertemuan itu membawa domino effect. Pengembangan Bukit Soeharto.
Keluarga Cendana melalui Yayasan Damandiri telah memberikan dukungan Bukit Soeharto sebagai pusat ekonomi warga sekitar. Tentu tidak bisa dilupakan spirit kehadiran Presiden Soeharto di bukit itu tahun 1978 yang lampau. Bukit kecil itu dipilih sebagai tempat untuk meremot agenda pelestarian dua juta lahan kritis di daerah atas. Daerah hutan. Dampaknya termasuk untuk bisa menyediakan suplai air bersih pada jutaan hektar di daerah bawah. Termasuk lancarnya suplai untuk pertanian.
Pada tahun 1966 Indonesia masih menjadi importir beras terbesar. Pada tahun 1984, Indonesia diakui lembaga dunia FAO mampu swasembada beras. Momentum tahun 1978 di Desa Badegan tentu menjadi bagian penting dari prestasi itu. Salah satunya dari bukit kecil itulah pelestarian lahan kritis diremot. Swasembada pangan bisa diwujudkan.