Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Dialektika Habaib dan Salafi-Wahabi terus berkembang menjadi isu krusial. Kontroversinya tidak meredup. Mengambil porsi besar dalam dielaktika keummatan di Indonesia saat ini. Setidaknya dialektika dalam lorong-lorong media sosial. Menggeser diskursus agenda-agenda strategis keummatan.
Meminjam analisis Ernes Gelner, orientalis barat, tajamnya dialektika internal ummat Islam biasanya justru berdampak positif. Bukan merupakan sebuah ancaman. Salah satu kelebihan ummat Islam adalah kegairahannya dalam ketegangan dialektika, antara ortodoksi dan liberasi. Ketegangan dialektika itu akan mengantarkan Islam otentik tetap hadir di tengah-tengah ummat. Pada akhirnya Islam tidak akan mati. Selalu akan ditemukan. Ajaran Islam otentik tidak akan redup.
Kenapa begitu?.
Sumber referensi Islam otentik adalah Al Qurán dan Hadist. Tafsir dalam memahami kedua sumber referensi itu menggunakan metodologi ketat. Stratifikasi berikutnya adalah Ijma’dan Qiyas. Menggunakan pula metode yang sangat ketat.
Oleh karena itu setajam apapun dialektikanya, Al Qur’an dan Hadist akan menjadi muara. Dialektika itu akan selalu mengantarkan atau menggiring ummat Islam menuju sumber ajaran otentiknya sendiri. Tidak akan lari dari akar tauhid dan fondasi ke-Islaman.
Ijtihad dibenarkan dan bahkan dianjurkan dalam Islam. Keberadaannya akan tetap menjadikan Alquran dan hadits sebagai instrument verifikasi.
Kembali ke soal Habaib.
Eksistensi Habaib sedang diperdebatkan di Indonesia. Perdebatan itu dipicu beberapa hal. Pertama, satemen kontroversial sejumlah habib. Substansi ceramah sejumlah Habaib dinilai melabrak nilai dasar ajaran Islam. Seperti satu habib bodoh lebih baik daripada 70 kyai alim non sayyid. Metode ceramahnya dinilai provokatif dan merendahkan pihak lain. Maupun kontroversi lainnya yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran-ajaran dalam agama Islam.