Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Mulai siang jelang sore ini, kampung-kampung muslim, khususnya di Jawa berubah vibes. Keceriaan festival tusuk sate dimulai.
Usai maghrib kemarin sore, takbir berkumandang tanpa henti. Hingga selesainya pemotongan hewan qurban. Tadi siang.
Soal ini, beda masjid atau lingkungan, beda tradisi. Antara takbir menggunakan speaker pada saat penyelembelihan hewan qurban, dengan tanpa speaker. Vibes-nya mirip-mirip saja. Takbiran, sholat ied, santap makan menu khas usai sholat ied, penyembelihan hewan qurban.
Siang jelang sore ini vibes itu bergeser. Panitia qurban sibuk membagikan jatah daging qurban. Para penerima daging qurban sudah bersiap-siap memasaknya. Bersiaga dengan piranti memasaknya sendiri-sendiri.
Termasuk festival tusuk sate. Acara bakar sate secara bersamaan. Di banyak rumah di setiap perkampungan. Termasuk memasak bagian-bagian ekstrim hewan qurban: kepala dan kaki.
Vibes itu penuh keceriaan. Penuh canda penuh tawa. Menikmati hewan qurban dengan beragam varian cara memasak.
Kolesterol tidak dikenal lagi. Bukan ancaman lagi. Untuk sementara di delete dari daftar penyakit yang harus dihindari.
Asap bakar sate mengepul menyeruak ke semua arah. Tergantung angin bertiup. Aroma kelezatan daging bakar menikam semua arah. Tidak ada yang tidak tergoda.
Iedul Qurban bukan saja soal tempaan tauhid. Kepasrahan terhadap Sang Maha Pembuat Hidup.
Bukan pula pergeseran cara berqurban. Dari pengorbanan untuk manusia. Untum makhluk jahat. Bergeser kepada pengorbanan untuk Tuhan.
Binatang qurban tidak dibuang sia-sia. Seperti larung binatang qurban ke laut. Melainkan dinikmati manusia.