Jokowi dan “Politik Grapyak”

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

 

 

“Grapyak” adalah diksi dalam bahasa Jawa. Artinya “ramah, mudah akrab, cepet nyambung dalam berinteraksi”.

 

Biasanya digabung dengan diksi “Semanak”. Ialah: “orang yang memperlakukan orang yang baru dia kenal seperti memperlakukan kepada sanak saudaranya sendiri atau seperti teman akrabnya sendiri”.

 

Itulah karakter positif yang dimiliki Presiden Jokowi. Karakter itu terbawa menjadi style dan mencoraki komunikasi politiknya. “Politik Grapyak”. Karakter Grapyak Semanak itu pula tampaknya diterapkan oleh anak-anaknya.

 

Karakter itu terbentuk tentunya melalui perilaku keseharian. Diketahui dari transformasinya dalam politik tidak dengan cara dipaksakan. Ditransplantasikan, dicangkokkan. Atau diskenario melalui training untuk akting. Melainkan terjadi alamiah saja. Sebagai konsekuensi perilaku keseharian.

 

Bertemu dengan siapapun, Jokowi dan anak-anaknya selalu menebar senyum. Mengulurkan tangan untuk berjabat. Bersapa dengan satu dua kata bahasa keseharian. Siapapun yang bertemu tidak merasa menjadi orang lain.

 

Reformasi menjadi ajang transformasi pride (harga diri) politik khalayak luas. Setiap orang ingin dianggap memiliki strata peran yang tinggi dan menentukan. Walau itu terkadang hanya ilusi.

 

Pembawaan Presiden Jokowi yang terbuka dan mudah akrab, menjadikan masyarakat yang menemuinya merasa menjadi bagian dari level peran lingkungan presiden. Ada perasaan tidak berbatas dengan istana, ada yang merasa diback up atau direstui istana, ada perasaan menjadi bagian elit baru, dan seterusnya. Setidaknya orang yang bertemu Presiden Jokowi bisa mengesankan citra seperti itu di khalayak luas atau di komunitasnya.

Lihat juga...