NU, Tambang, dan Mesin Peradaban

 

Hasilnya ketika memasuki era reformasi, warga NU menikmati booming kader berpendidikan formal. Kader-kader NU banyak mencoraki pemerintahan. Banyak turun di gelanggang politik. Pusat hingga daerah. Seiring dengan rezim elektoral secara terbuka dalam rekruitmen perwakilan rakyat.

 

Berbeda dengan Muhammadiyah. Sejak awal berdiri, basis keanggotaannya kaum profesional perkotaan. Sejak berdiri sudah mengembangkan amal usaha. Inovasi-inovasi amal usahanya melebihi kemajuan jamannya. Bahkan pada era orde baru menjadi bagian inner circle pemerintaan. Cukup waktu membesarkan amal usahanya.

 

Kini amal usaha Muhammadiyah sudah sangat banyak. Bahkan hari-hari ini kita dipertontonkan manuvernya melakukan replacement asset finansialnya dari Bank Syariah Indonesia. Aset kelembagaannya sudah sangat besar. Relatif memiliki kemandirian finansial dalam menggerakkan organisasi.

 

Berbeda lagi dengan gereja. Kegiatan operasionalnya ditopang dana perpuluhan dari jamaah. Belum lagi dengan dukungan internasional. Mereka telah memiliki kemandirian finansial sejak lama.

 

Sementara itu, kekayaan NU terdistribusi sebagai aset anggotanya. Berupa pesantren-pesantren, masjid-masjid dan madrasah-madrasah. Tidak terkonsolidasi sebagai asset kelembagaan sebagaimana terjadi pada Muhammadiyah.

 

Keanggotan NU diikat kesamaan value (nilai). Secara fiqh menginduk pada 4 madzhab Mu’tabar. Imam Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali. Secara tauhid, mengacu konsepsi ijtihad Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan  Imam Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan secara tasawuf merujuk Imam Ghozali. Walau masing-masing anggotanya memiliki kemandirian asset, tetap terikat dalam satu orientasi gerakan keagamaan yang sama. Ahlus Sunnah Waljamaah.

Lihat juga...