Re-amandemen, Jalan Tengah Dua Kutub Ekstrim

Re-amandemen, Jalan Tengah Dua Kutub Ekstrim

 

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

 

 

Melalui media, Dr. Amin Rais membuat statemen mengejutkan. “Presiden dipilih kembali oleh MPR”. Sikap itu bukan saja ibarat “menelan ludah sendiri”. Melainkan juga hendak mencabut kembali transparansi proses politik yang telah mulai terbiasa dinikmati rakyat.

Ibarat “menelan ludah sendiri”, karena memungut kembali apa yang ia buang beberapa tahun lalu. Tanpa beban, tanpa rasa bersalah, sistem MPR dipreteli sedemikian rupa. Justifikasinya adalah tuntutan reformasi dan demokratisasi. Kini apa yang dibuang itu hendak dipungut kembali.

Statemen itu sekaligus menandakan gagal paham untuk kesekian kalinya memahami suara batin rakyat. Gagal pula memahami apa yang dimaksud “Presiden sebagai mandataris MPR”. Sehingga mucul kesimpulan bahwa solusinya “Presiden harus dipilih kembali oleh MPR”.

Perdebatan revitalisasi MPR semestinya mempersyaratkan pemahaman terhadal dua hal. Pertama, pemahaman terhadap makna “Presiden sebagai mandataris MPR”. Kedua, pemahaman terhadap ketegangan dua kutub ekstrim era reformasi.

Operasionalisasi teknis makna “Presiden sebagai mandataris MPR” dalam UUD 1945 (asli) tercermin dalam pasal 3 UUD 1945 (asli). Pasal ini menyatakan MPR menetapkan GBHN. Selain kewenangannya menetapkan Undang Undang Dasar. Pasal itu dikonstatasikan dengan pasal 5 UUD 1945 (asli). Bahwa Presiden bersama DPR memiliki kekuasaan membentuk Undang Undang.

Secara hirarki, UU berada di bawah Tap MPR. Makna “Presiden sebagai mandataris MPR” adalah tugas presiden menjalankan haluan negara atau GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Tidak berkaitan dengan pasal 6 UUD 1945 (asli) yang menyatakan presiden harus orang Indonesia asli dan dipilih oleh MPR. Pasal enam itu mengatur soal teknis. Bukan esensi “mandataris”.

Lihat juga...