Belajar dari Transisi Presiden Soeharto

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

 

 

Buku yang ditulis Widjoyo Nitisastro. Menceritakan soal itu. Soal transisi kebijakan dari Orde lama ke Orde Baru.

Buku itu berjudul “Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjoyo Nitisastro”. Terbit tahun 2010. Oleh PT. Kompas Media Nusantara.

Ada juga buku berjudul “Mengenang Prestasi Ekonomi Indonesia 1966-1990-an”. Ditulis Sri Hadi. Terbit tahun 2006. Oleh penerbit Universitas Indonesia. Mengupas jejak kebijakan pembangunan Orde Baru.

Transisi kebijakan ekonomi itu bisa menjadi pelajaran. Bagi team ekonomi Presiden terpilih Prabowo Subianto. Situasi yang dihadapi Presiden Soeharto tentu jauh lebih berat. Jika dibandingkan pada saat ini. Ketika infrastruktur dan SDM sudah sedemikian maju.

Presiden Soeharto ditakdirkan naik ke panggung kekuasaan dalam situasi kompleks. Mewarisi kondisi ekonomi yang secara eksponensial menderita kemunduran. Sangat mencemaskan. Indeks biaya hidup di kota Jakarta naik tajam mencapai 100% per tahun antara 1962-1964. Indeks itu kemudian melesat mencapai 650% dari Desember 1964 ke Desember 1965.

Harga barang kebutuhan hidup naik setiap hari. Indonesia terperangkap spiral hyper-inflasi. Disebabkan tidak terkendali naiknya volume uang yang didorong defisit APBN. Empat puluh lima persen APBN dipergunakan untuk persenjataan. APBN tidak berdampak pada kenaikan volume arus barang dan jasa bagi masyarakat.

Kenaikan laju hyper-inflasi disebabkan oleh kumulasi beberapa persoalan. Membesarnya defisit anggaran, arah alokasi anggaran ke jurusan tidak produktif dan naiknya volume uang mendorong kenaikan laju hyper-inflasi. Ekspor dan impor menurun. Utang luar negeri sudah jatuh tempo dan perlu dibayar. Semua ini menggerogoti cadangan devisa dari 326,4 juta dollar AS (1960). Turun secara mencolok menjadi 8,6 juta dollar AS pada 1965.

Lihat juga...