Jika dievaluasi, kasus seperti itu banyak. Termasuk proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) era Presiden SBY. Tiang pancang memang belum ada. Riset dan pertemuan-pertemuan sudah banyak keluar biaya. Proyek itu tidak berlanjut.
Presiden Soeharto pernah mengajarkan cara mengarifi masa lalu. Istilah yang ia pakai “Mikul Dhuwur Mendhem Jero”. Proyek-proyek mercusuar Presiden Soekarno dihujat publik. Proyek-proyek yang sudah terlanjur itu tetap dilanjut. Hingga berfungsi. Seperti Monumen Nasional, Waduk Jatiluhur maupun Masjid Isqtiqlal dan sejumlah proyek lainnya.
Setiap pergantian rezim seharusnya menganut prinsip keberlanjutan. Khususnya penyelesaian proyek-proyek yang telah dimulai. Spirit dekonstruktif seharunya dihindari. Setelahnya baru dilakukan refocusing kebijakan sesuai perkembangan skala prioritas terbaru.
Melalui prinsip ini, IKN tidak harus menjadi proyek terbengkalai. Anggaran sudah banyak dikeluarkan. Itu uang rakyat.
Setiap rupiah uang rakyat yang telah dibelanjakan itu harus memberi nilai manfaat. Cara pandang dekonstruktif hanya akan merugikan bangsa kita sendiri. Mendekonstruksi kebijakan masa untuk diganti sama sekali dengan kebijakan baru.
Terlepas keputusan apa tentang masa depan IKN kelak, pembangunannya tetap harus berlanjut. Sampai berfungsi dan menjadi starter kemajuan bersama. Setidaknya untuk skala pulau Kalimantan.
“Hal paling sulit adalah merawat hasil-hasil pembangunan yang sudah kita capai. Merawat tidak kalah sulitnya dibanding dengan membangun”. Begitu statemen Presiden Soeharto suatu ketika.
Kita harus mulai belajar mengarifi masa lalu. Meminjam istilah BBC London untuk PM Chamberlain, sebagai mengarifi “Ilusi bersama sebuah bangsa”. Bahwa bangsa ini sebelumnya memutuskan kebijakan tertentu. Harus dimaklumi sebagai keputusan bersama. Walau banyak penentangnya. Tapi juga tidak lebih sedikit pendukungnya. Sebagai realitas yang tidak boleh tidak diakui.