Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Politik luar negeri (Polugri) merupakan salah satu amanat UUD 1945. Rumusannya ada pada paragrap 4. “Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Begitu narasinya.
Implementasinya melalui strategi “Polugri bebas aktif”. Tidak terikat blok kekuatan negara atau kawasan manapun. Aktif berinsiatif mewujudkan perdamaian dunia yang berkeadilan sosial dan bebas dari kolonialisme. Hard colonialism maupun soft colonialism.
Tanggal 2 September 1948, di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Untuk pertama kalinya prinsip politik luar negeri (LN) bebas dan aktif dikemukakan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Ia menyampaikan pidato bersejarah “Mendayung Antara Dua Karang”. Mengambil contoh reposisi Indonesia menghadapi perang dingin. “…mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika ?”. Begitu pertanyaan retoris Mohammad Hatta.
Sejarah Indonesia mencatat pengalaman polugri dalam dua style dominan. Soekarno dan Soeharto style. Soekarno menekankan “megaphone diplomacy”. Soeharto menekankan pendekatan stabilitas nasional dan diplomasi damai melalui sistem.
Megaphone diplomacy merupakan politik jargon. Politik statemen. Kasarnya bisa dikatakan sebagai “politik luar negeri koar-koar”.
Presiden Soekarno memimpin ketika PD II berakhir. Eropa dibuat merasakan penderitaan penjajahan oleh Nazi Jerman. Publik dunia sadar, penjajahan tidak lagi memiliki pijakan moral. Untuk dilanjutkan sebagai tatanan dunia. Banyak negara melepaskan diri dari kolonialisasi dan menjadi negara merdeka.