Presiden Soeharto Menandingkan Tiga Idiologi Ekonomi, Bagaimana Prabowo?

Kebijakan PMA Presiden Soeharto dijadikan sasaran kritik. Dianggap terlalu liberal. Walaupun masih sangat terkontrol dibanding liberalnya era reformasi. Kebijakan ekonomi liberal dinilai hanya akan membuat ketergantungan secara permanen pada kekuatan ekonomi negara-negara barat.

Kedua, Habibinomic. Ialah pembangunan industri-industri strategis berbasis teknologi tinggi. Untuk terwujudnya negara industri. Habibie dilibatkan menjadi Menristek sejak tahun 1978. Ia diminta memimpin industri-industri strategis. Memperoleh perlindungan istimewa secara kebijakan maupun keamanan. Selayaknya perlindungan terhadap aset ilmuwan pada film-film perang. Kaisar Intelijen Benny Moerdani memiliki ruangan di BPPT. Khusus menjaga keamanan Habibie.

Kebijakan Habibinomic dimaksudkan keluar dari ketergantungan produk tekonologi dari negara-negara barat. Kebijakan ini sering menuai kritik. Sejumlah pihak menghujat ibarat membangun kolam renang mewah. Pada saat banyak masyarakat memerlukan air minum.

Pembangunan industri-industri strategis ini untuk mengungkit Indonesia menjadi negara maju. Tahun 2000 diproyeksikan sebagai tahun aman. Industri strategis Indonesia sudah akan berproduksi. Kebijakan ini dihentikan oleh krisis moneter tahun 1997 yang disusul krisisi ekonomi dan politik. Sebuah analisis mengemuka. Negara-negara barat tidak ingin Indonesia menjadi negara Industri.

Ketiga, Ekonomi Pancasila. Ialah Koperasi.  Presiden Soeharto menumbuhkan banyak koperasi hingga ke pelosok desa. Termasuk KUD (Koperasi Unit Desa). Kebijakan ini dikritik sebagai “Kebijakan Jenggot”. Bukan membangunkan koperasi secara bottom up. Melainkan Top Down.

Lihat juga...