Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Hujatan untuk NU sudah berlalu. Ini soal konsesi tambang untuk ormas keagamaan. Melalui melalui PP 25/2024, pemerintah memiliki kebijakan baru. Ormas keagamaan bisa melakukan kegiatan usaha pertambangan. NU sejak awal menerima kebijakan itu. Ia dibully.
Kini giliran Muhammadiyah dibully. Awalnya Muhammadiyah tidak serta merta menerima kebjakan itu. Akhirnya menerima juga. Itulah pemicu bully. “Ternyata mau juga”, mungkin begitu cara pikir pengkritiknya.
Terdapat sejumlah alasan berbagai pihak mengkritik Muhammadiyah. Setidaknya berdasar telaah konten berbagai media. Baik konvensional maupun media sosial.
Pertama, sudah kaya. Amal usaha Muhammadiyah sudah menggurita. Kenapa harus menerima konsesi tambang itu.
Muhammadiyah memiliki 172 Perguruan Tinggi. 83 Universitas, 53 sekolah tinggi, 36 bentuk lainnya. Rumah Sakit sebanyak 122 buah. Sebanyak 20 buah lagi sedang pembangunan. Klinik sebanyak 231. Sekolah/Madrasah sebangak 5.345. Pesantren sebanyak 440. Amal usaha sosial sebanyak 1.012. Aset wakaf 20.465. Aset berupa lahan sebanyak 14.742.677 meter persegi. Muhammadiyah juga memiliki cabang Istimewa di 30 negara.
Jadi untuk apalagi menerima konsesi tambang. Level Muhammadiyah sudah bukan penerima bantuan. Termasuk menerima konsesi tambang. Melainkan sudah berada pada level pemberi. Amal usahanya sudah sangat banyak. Begitulah cara pikir kelompok pertama ini.
Kedua, mempengaruhi independensi. Khawatir independensi Muhammadiyah tersandera kebijakan tambang itu. Kritisisme Muhammadiyah terhadap pemerintah menjadi tumpul. Tidak lagi mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah secara maksimal.