RK Vs Anies juga merupakan ajang pembuktian bagi PKS. Seberapa setia anggota PKS terhadap keputusan dan arah kebijakan induk organisasinya. Atau justru terikat loyalitasnya pada Anies.
Ketiga, untuk merehabilitasi residu konflik masa lalu. Anies seorang demokrat. Cendekiawan. Berpikiran terbuka. Oleh tuntutan politik terpaksa bersisiran dengan basis pendukung yang dinilai berbagai pihak sebagai intoleran. Pembela politik identitas.
Keberanian PDIP menggandeng Anies akan menghempaskan kelompok-kelompok intoleran dari pilkada. Selama ini mereka disinyalir memanfaatkan Anies sebagai figur dalam memaksakan politik identitasnya. Ketika AB digandeng PDIP, kelompok intoleran akan kehilangan induk semangnya. Jakarta akan terbebas dari konflik aliran yang tidak perlu.
PDIP dikenal sebagai pembela keragaman. Bisa membebaskan residu konflik itu di Jakarta.
Keempat, untuk pembuktian akurasi survei. Apakah elektabilitas AB tetap tinggi dan unggul diakhir kompetisi. Atau akan rontok oleh sebab-sebab tertentu. Dinamika itu tentu menarik untuk keperluan studi. Khususnya strategi dalam perebutan basis elektoral Jakarta.
Pada saat pilpres, AB memperoleh elektabilitas tertinggi menurut servei CSIS. Bahkan head to head dengan kandidat manapun dipastikan unggul. Terbukti survei itu bergeser. AB kalah dalam pilpres.
Kelima, untuk pembuktian loyalitas basis massa PDIP. Ketika mengusung AB, seberapa loyal anggota PDIP terhadap keputusan induk organisasinya itu. Basis massa yang pertempur sengit melawan Anies Baswedan di pilgub Jakarta 2017. Melawan politik identitas.
Terlepas PDIP menjatuhkan pilihan pada AB, atau Ahok. Semuanya tetap pilihan menarik. PDIP harus mampu menjadi perawat demokrasi. Pilkada Jakarta harus bisa menjadi sekolah demokras bagi kita semua. Ditentukan oleh keseriusan PDIP memilih kompetitor tangguh melawan KIM Plus.