Oleh: Abdul Rohman Sukardi
“Disorientasi Gerakan”. Itulah gambaran sebagian gerakan protes atau gerakan massa akhir-akhir ini. Sebuah gejala aneh. Ketika gerakan kritis tidak bisa merumuskan agenda dan target pasti. Masing-masing pihak terpecar oleh orientasi yang beragam. Bahkan orientasinya janggal. Tidak masuk akal.
Salah satu kejanggalan itu adalah tuntutan “turunkan Jokowi”. Presiden yang masa jabatannya tinggal beberapa bulan. Bahkan menghitung hari. Tidak harus dipaksa turunpun dengan sendirinya akan berhenti.
Tuntutan “turunkan Jokowi” itu ibarat meninju angin. Membidik ruang kosong.
Terkecuali isu gerakan itu membidik case tertentu. Misalnya menuntut pengundangan RUU perampasan asset. Pembatasan jabatan publik maksimal dua periode. UU anti politik dinasti.
Jika terkait sosok pribadi presiden, misalnya tuntutan pengungkapan pelanggaran hukum. Tuntutan pengadilan pada presiden atas kasus tertentu. Tuntutan-tuntutan itu baru masuk akal. Tidak absurd. Tidak hanya fatamorgana belaka.
Atas kejanggalan itu bisa kita sodorkan beberapa kemungkinan hidden agenda. Motif tersebunyi dibalik gerakan penurunan Jokowi dari kursi presiden.
Pertama, kambing hitam kekalahan pilpres. Gerakan massa atau protes massa penurunan Jokowi itu hanyalah ekspresi kekecewaan belaka. Ekspresi kekalahan pilpres tanpa bisa move on. Betapa sosok presiden yang selama ini direndahkan sedemikian rupa, menjadi salah satu penyebab pilpres satu putaran. Ssemua petualangan politik berhenti dalam waktu cepat.
Protes tanpa henti dengan alasan absurd itu menunjukkan kegagalan pihak-pihak yang kalah pilpres. Tidak mampu merumuskan exit way dari kegagalan proses politik. Maka dilampiaskanlah kekecawaan itu melalui kemarahan kepada Jokowi. Jadi memang tidak ada alasan substansial untuk apa Jokowi diturunkan.