PKB dan Otoritarianisme Ketum Parpol

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

 

Isu pengambilalihan PKB oleh PBNU menyeruak. Tiba-tiba Ketum PKB, Muhaimin berteriak lantang: “PBNU tidak boleh ikut campur ngurusi PKB”. PBNU pun memanggil Ketua Umum partai itu. Untuk dievaluasi relasi antara PKB-PBNU. Sejarahnya memang PKB didirikan oleh NU. Secara formal.

“Saya minta Kapolri tegas membubarkan”, begitu jawaban Muhaimin ketika ditanya isu Muktamar tandingan. Menkumham yang baru pun menegaskan. Tidak ikut campur tangan soal konflik PKB.

Dinamika itu urusan internal PBNU-PKB. Kita bicara budaya rotasi kepemimpinan nasional saja.

Reformasi salah satunya mengevaluasi rotasi kepemimpinan nasional. UUD 1945 asli menyatakan presiden dipilih untuk masa jabatan lima tahun. Untuk selanjutnya bisa dipilih kembali. Tanpa Batasan periode.

Ketentuan UUD 1945 itu dinilai sebagai sistem otoriter. Memberi peluang lahirnya kepemimpinan otoriter. Maka harus didekonstruksi.

Pasal itu diamandemen. Masa jabatan presiden selama lima tahun. Bisa dipilih untuk maksimal dua kali masa jabatan.

Spirit UUD 1945 amandemen itu harusnya dijabarkan dalam seluruh level kepemimpinan bangsa. Masa jabatan politik selama lima tahun. Maksimal dua periode.

Presiden-Wakil Presiden-Gubernur-Walikota-Kepala Desa. Seharusnya mengacu pembatasan periodisasi itu. Begitu pula kelembagaan-kelembagaan politik, seperti partai politik. Menerapkan “jurispudensi” ketentuan UUD 945 tersebut.

Ketua umum partai beserta ketua partai pada semua level tidak boleh menjabat lebih dari dua periode. Tidak boleh menjabat melebihi masa jabatan presiden. Sebagai rujukan kepantasan durasi kepemimpinan.

Lihat juga...