Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Menyala!. Kata anak-anak muda sekarang. Itulah gambaran kaum muda Muhammadiyah Trenggalek terkini. Ikhtiarnya melawan tambang emas menjadi viral. Menyebar ke mana-mana. Menumpang isu penerimaan konsesi tambang oleh ormas. Termasuk oleh induk organisasinya. Muhammadiyah.
Tambang emas Trenggalek merupakan problem lokalita. Perlawanan terhadapnya sudah cukup lama. Elemen ormas maupun civil society bergerak. Termasuk Muhammadiyah, NU maupun non ormas keagamaan. Mereka berjuang, untuk apa yang dikatakan: “menyelamatkan ruang hidup”.
Sejarahnya panjang. Sejak 2005. Itu awal masa reformasi.
Bupati Trenggalek memberi izin PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN). Untuk ekplorasi atau pemetaan geologi. Riset kandungan dan kelayakan tambang emas di Trenggalek. Sebelumnya, PT ANTAM sudah melalukan pemetaan pendahuluan.
Singkat cerita, tahun 2016, PT SMN mengajukan IUP seluas 12.833 ha. Untuk eksploitasi. Total luas Trenggalek sendiri 126.140 ha. Luasan IUP itu menyasar 9 dari 14 kecamatan. Setara 9,8 persen dari total luas Trenggalek.
Kenapa warga Trenggalek menolak tambang ?
Pertama, Trenggalek daerah basin. Wilayah cekungan. Berbeda dengan kontur kabupaten/kota yang lain. Sebuah area sempit dikelilingi perbukitan dan pegunungan. Pada area sempit, dalam jepitan pegunungan dan di lereng-lerengnya itulah, hampir satu juta jiwa (751.079) tinggal. Termasuk menggantukan berbagai sumber kehidupan (air dan bahan pangan).
Sebesar 10,21 % dari luasnya merupakan tanah sawah. Tanah kering seluas 30,32%, Hutan Negara seluas 48,31%, tanaman perkebunan seluas 2,1%. Lain-lain seluas 9,13%. Artinya kurang dari 50% wilayah menjadi tempat tinggal penduduk sekaligus menggantungkan sumber pangan. Selebihnya merupakan kawasan perbukitan. Kawasan penyangga ekologi.