Berbeda tambang di Luar Jawa. Jauh dari pemukiman, pusat pertanian dan perladangan penduduk. Tambang di Trenggalek bisa dikatakan berada di pekarangan penduduk. Di area pemukiman padat. Berada di ketinggian. Di lereng-lereng atau dataran tinggi. Mengelilingi kota atau daerah rendah. Mengelilingi daerah sempit tempat tinggal hampir satu juta penduduk. Membuka tambang sama artinya membongkar wilayah padat penduduk. Secara perlahan.
Kedua, ancaman ekologi. Daerah datar yang sempit dikelilingi pegunungan merupakan tujuan aliran air musim penghujan. Trenggalek memiliki siklus puluhan tahun dengan curah hujan tinggi. Ketika biota di lereng-lereng pegunungan tidak mampu menahan air, banjir akan mengancam daerah rendah.
Tahun 1990-an, tahun 2006, tahun 2020-an, Trenggalek mengalami siklus banjir-banjir besar itu. Tanda bahwa daya dukung lingkungan lereng-lereng gunung sudah kewalahan menghadapi curah hujan tinggi. Akan menjadi masalah besar ketika daya dukung ekologi lereng-lereng gunung diamputasi oleh aktivitas tambang. Ancaman bagi ratusan ribu orang di daerah bawah.
Harusnya di Trenggalek dibangun bendungan, embung, dalam jumlah yang memadai. Bukan dibotaki tambang.
Ketiga, matinya sumber air dan pangan. Trenggalek memiliki tiga sumber pangan utama. Pertanian diderah datar. Arealnya berebut dengan pemukiman. Kemudian perkebunan dan lahan hutan di lereng-lereng pegunungan. Lereng-lereng bukit juga sudah dirambah pemukiman. Selain itu juga ada perikanan di laut selatan. Samudera Hindia.
Eksploitasi tambang bukan saja mengamputasi daya dukung ekologi. Melainkan juga menimbulkan pencemaran. Lereng-lerang pegunungan sebagai produsen air untuk minum maupun pertanian akan berkurang. Limbah tambang bisa mengancam usaha pertanian dan perikanan di daerah bawah.