Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
Tanggal 28 September 1965. DN Aidit, ketua cc PKI, membuat pernyataan menarik. Pada forum penutupan kongres III CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Penutupan kongres itu dihadiri Presiden Soekarno.
Ibu Haryatie dibawa serta oleh presiden pada acara itu. Ialah istri yang sudah dicerai. Untuk bisa menikahi Ibu Ratna Sari Dewi. Kuota poligami dalam ajaran Islam, maksimal empat Istri. Presiden Soekarno mentaatinya.
“…ada pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara istri empat sampai lima orang.”
Statemen itu diungkapkan Aidit pada momentum yang sama ketika memberi doktrin pada mahasiswa komunis: “Mahasiswa komunis harus berani berfikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat. Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi, berani”.
Pernyataan itu disampaikan pada forum yang sama pula ketika Aidit menggelorakan konfrontasinya dengan HMI. Himpunan Mahasiswa Islam.
“… kalau pemerintah tidak bersedia membubarkan HMI, jangan kalian berteriak-teriak menuntut. Lebih baik kalian bubarkan sendiri HMI. Dan kalau tidak mampu, lebih baik kalian jangan memakai celana. Tukar celanamu dengan sarung… seperti perempuan”
Pernyataan itu disampaikan secara lantang di depan Presiden Soekarno. Dua hingga tiga hari menjelang meletusnya pemberontakan PKI. 1 Oktober 1965. Apakah itu suatu sinyal konfrontasi Aidit dengan Presiden Soekarno?.
Doktrin komunis memang membenarkan aliansi sementara dengan kalangan nasionalis. Disebut sebagai kalangan borjuasi nasional. Sebelum akhirnya bergerak secara mandiri. Jika sudah memungkinkan.