Implikasi pertama menyangkut Polri instansi tertinggi pengelola keamanan. Jauh-jauh dari Jakarta. Menyajikan analisis keamanan terhadap sebuah agenda dikusi kampus di Semarang. Wilayah operasional Polda Jateng. Banyak pihak menilainya dengan janggal.
Kemerdekaan akademik dilindungi pasal 28 UUD 1945. Analisis kerawanan lazimnya diterapkan pada agenda pengumpulan massa. Kampanye, hiburan dengan massa besar, atau tabligh akbar. Ceramah umum. Forum diskusi di kampus tidak menjadi bagian dari pengerahan massa besar itu.
Ancaman terhadap jalannya mimbar akademik, tugas kepolisian untuk mengamankannya. Dari ancaman sikap-sikap anarkisme dan intoleran. Bukan membubarkan diskusinya.
Secara legal formal, tindakan mabes polri penuh kejanggalan. Jika itu keputusan institusional, akan menempatkan rezim berkuasa dinilai sebagai rezim otoritarian. Anti dan melanggar UUD 1945. Jika ulah sejumlah oknum, bisa diartikan polri dikendalikan oleh kepentingan tertentu. Tidak menjalankan UUD 1945.
Terlepas institusional atau oknum. Keputusan mabes Polri soal diskusi di UIN Walisongo perlu dievaluasi rezim berkuasa. Mungkin kini berada pada massa transisi. Kinerja kepolisian tidak terkontrol secara baik.
Kedua, ketidaksiapan ulama dalam tradisi ilmiah. Turun tangannya polri untuk urusan diskusi di kampus, diduga atau bisa ditafsirkan, cerminan ketidaksiapan sisiran ulama tertentu. Atau sisiran orang-orang yang mengatasnamakan dan mengklaim ulama. Berhadapan dengan tradisi ilmiah.
Maka munculah istilah “kerawanan keamanan”. Pendukung antara yang pro dan kontra pembatalan nasab Baalwi berpotensi main kekerasan terhadap forum diskusi ilmiah.