Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Presiden Jokowi merupakan salah satu prototype politisi Jawa yang tidak jelas pendidkan politiknya. Ia bukan pengusaha kelas konglomerat. Sebatas pengusaha mebel level kota sedang. Lingkup Solo.
Tidak menempuh pendidikan politik. Lulusan jurusan kehutanan. Tidak terpantau sebagai anggota kaderisasi politik jenjang kemahasiswaan. Misal: aktivis HMI, GMNI, PMII.
Karir politiknya cemerlang. Terpilih sebagai walikota Solo. Melompat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kemudian menjadi presiden dua periode. Melawan kandidat-kandidat pengalaman.
Eksistensi politiknya tidak goyang hingga akhir jabatan. Bahkan masih menitipkan anak-anak dan koleganya pada rezim pemerintahan berikutnya. Fakta itu cukup membuktikan ia sosok politisi lihai. Seburuk apapun cibiran dan framming digelontor kepadanya.
Presiden Soekarno, jebolan “kaderisasi Paneleh”. Anak didik Cokroaminoto: aktivis keummatan dan kebangsaan. Di gang Paneleh Surabaya. Masih memiliki reputasi kaderisasi politik. Walau ia sekolah teknik di ITB.
Pada eranya Soekarno sebenarnya juga kalah pamor secara keilmuan. Dibanding Hatta, Sjahrir, Tan Malaka. Maupun tokoh-tokoh jebolan Belanda. Soekarno hanya aktivis jalanan. Akan tetapi ia mengalahkan tokoh-tokoh lainnya. Dipercaya memproklamirkan kemerdekaan dan memimpin bangsa.
Reputasi Presiden Soeharto lebih menggelitik. Jebolan setara SMP. Kelebihannya: memiliki dua tradisi pendidikan kemiliteran modern pada zamannya. KNIL (Belanda) dan PETA (Jepang). Bekal utama memasuki zaman baru.
Era dimana ketrampilan melawan musuh di medan tembak sangat diperlukan. Berjuang mempertahankan kemerdekaan. Ia tumbuh menjadi pemimpin militer dan kemudian pemimpin politik bangsa ini dalam jangka panjang.