Pasir, Sedimen dan Aneksasi Terselubung

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

 

 

Bukan pasir. Melainkan sedimen. Itulah strategi komunikasi publik presiden Jokowi. Ketika menjawab polemik dibukanya kembali ijin ekspor pasir.

Ijin itu didasarkan PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dikeluarkan Presiden Jokowi. Ditindaklanjuti menperindag Zulfiki Hasan melalui revisi Permendag 20/2024. Tentang Perubahan Kedua atas Permendag 22/2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor.

Zulhas juga merevisi Permendag Nomor 21 Tahun 2024. Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Kedua Permendag ini diundangkan di Jakarta pada 29 Agustus 2024 dan akan berlaku setelah 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diundangkan.

Sejumlah revisi permendag itu menghidupkan kembali ijin ekspor pasir setelah 17 tahun dihentikan permanen.

Tanggal 22 Januari 2007 yang lalu. Eskpor pasir dihentikan permanen. Setelah menuai gelombang protes. Atas kebijakan yang merugikan bangsa dan negara. Menperindag menerbitkan SK No: 02/M-DAG/PER/1/2007 tentang Larangan Ekspor Pasir, Tanah dan Top Soil. Era SBY.

Kembali soal pilihan diksi presiden Jokowi. Sepertinya publik hendak digiring pada persepsi: ada perbedaan risiko antara ekspor pasir dan sedimen. Ekspor pasir merugikan negara. Kalau ekspor sedimen tidak merugikan negara. Maka publik hendaknya menerima kebijakan itu.

Mungkin begitu motif dibalik pilihan diksi antara sedimen dan pasir. Kita Hanya bisa menduganya.

Terkait sejarah penghentian permanen ekspor pasir, buku “Presiden Soeharto dan Visi Kenusantaraan” halaman 5 s.d 12 mengungkapnya secara rinci kerugian ekspors pasir itu.

Lihat juga...