Caatatan Harian: Abdul Rohman Sukardi
Masa lalu merupakan spion kesejarahan. Untuk sesekali kita tengok. Diambil pelajaran. Hal-hal positif dilanjutkan. Hal-hal negatif ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan dihindari perulangannya. Baik pada masa kini, maupun masa datang. Itulah makna refleksi kesejarahan.
September, selalu menjadi momentum refleksi kesejarahan kelam bangsa ini. Atas peristiwa kudeta PKI 1965 yang tidak perlu terulang kembali. Ketika jumlah jenderal terbunuh menempati rekor terbanyak dalam sejarah modern. Hanya berlangsung singkat. Sepertiga malam.
Peristiwa itu dilanjut tragedi civil war. Antara anggota dan simpatisan PKI dengan massa non komunis. Korbanya hingga ratusan ribu. Bukan hanya dari anggota komunis saja.
Kenapa kudeta itu gagal?. Bukankan PKI partai komunis terbesar ke 3 di dunia kala itu. Jaringan internasionalnya kuat. Tersebar pada belahan dunia yang luas. Terutama dimotori Soviet dan RRC?.
Kegagalan kudeta itu menjadi dalih simpatisan dan kader-kader PKI. Untuk menolak kemungkinan keterlibatannya pada peristiwa 1 Oktober 1965. “Mustahil partai selihai itu gerakanya mudah dipatahkan”. Begitu dalihnya.Bahkan terdapat opini-opini yang menyatakan kudeta itu sengaja diskenario gagal. Dengan mengkabinghitamkan PKI.
Intinya untuk cuci tangan lumuran darah PKI dalam peristiwa itu. Menghapus dosanya sendiri dan mendosakan pihak lain.
Sudah 59 tahun peristiwa berlalu. Kita bisa melakukan analisa post factum. Menggunakan sumber-sumber data yang telah bertebaran dalam kurun waktu itu. Setidaknya ada tiga sebab kenapa PKI gagal dalam kudeta 1965.
Pertama, terbunuhnya tiga Jenderal TNI di kediamannya. Ialah Jenderal A. Yani, Brigjen D.I. Panjaitan, Mayjen Haryono MT. Peristiwa pembunuhan di kediaman A. Yani dikabarkan pembantunya, Mbok Milah. Menghubungi Ajudan A Yani, Mayor Soebardi.