Kekuasaan “Tidak Tak Terbatas” (Elit) Partai

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

 

 

Deretan caleg terpilih di Jateng terpasa mundur karena sistem komandante”.  Begitu media-media menurunkan beritanya bulan Mei-Juni 2024. “Pilihan caleg mundur demi cucu Soekarno”, ulasan berita detik: 1 Oktober 2024. Kasus itu bukan PDIP satu-satunya pelaku. Terjadi pula di sejumlah partai lainnya.

Kenapa caleg terpilih harus mundur?. Bukankan UU mengamanatkan calon dengan suara terbanyak yang terpilih?.

Kebijakan kepartaian tidak boleh melanggar aturan itu. Aturan yang lebih tinggi. Apalagi terdapat aroma kebijakan otoritarian elit partai. Untuk meloloskan calon yang oleh rayat tidak dikehendaki mewakilinya di Senayan. Dibuktikan rendahnya peroleh suara dukungan rakyat.

Mundurnya caleg terpilih bukan saja penipuan terhadap konstituen. Melainkan juga pelanggaran hak asasi terhadap caleg bersangkutan. Jika mundurnya caleg itu rekayasa oleh kebijakan otoritarian partai. Atau tekanan elit partai.

Pemilih bersusah payah memverifikasi dan kemudian memilih calon wakilnya di DPR. Setelah terpilih, caleg itu kemudian mengundurkan diri. Pemilih ditipu oleh harapan yang kemudian hanya untuk ditinggalkan. Kanal aspirasinya dihilangkan begitu terpilih.

Untuk menghindarkan penipuan konstituen, caleg terpilih seharusnya tidak boleh mengundurkan diri. Kecuali dengan syarat-syarat yang ketat. UU harus memastikan perlindungan konstituen itu.

Caleg terpilih seharusnya hanya boleh mengundurkan diri ketika: 1. Meninggal dunia. 2. Melanggar hukum yang diputus pengadilan, atau setidaknya menjadi tersangka. 3. Hilang kewarganegaraan. 4. Sakit permanen dan tidak mampu menjalankan tugas yang dibuktikan oleh keterangan dokter. 5. Melanggar sumpah dan janji sebagai anggota dewan. 6. Rangkap jabatan. Misalnya mencalonan sebagai kepala daerah atau menjabat pada jabatan publik yang lain.

Lihat juga...