Peraturan perundang-undangan yang ada pada saat ini memungkinkan anggota DPR berhenti oleh sebab: mengundurkan diri, meninggal dunia, melanggar sumpah dan janji, putusan pengadilan, berhenti sebagai anggota parpol. Ketentuan ini membuka celah otoritarianisme partai. Atau otoritariansme sejumlah elit partai. Selain rekayasa oleh caleg itu sendiri untuk transaksi pragmatis.
Ketika calon terpilih tidak dikehendaki partai atau elit partai, caleg terpilih bisa direkayasa untuk mundur atau diberhentikan keanggotaannya oleh alasan tertentu. Otomatis keanggotan sebagai legislatif gugur. Hak asasi caleg itu yang kemudian dikorbankan. Selain hak konstituen pula yang dirugikan.
Rekayasa juga terjadi ketika caleg terpilih ingin mentransaksikan jabatannya dengan sejumlah kompensasi tertentu. Ia rela meninggalkan kursi legislatifnya digantikan kandidat berikutnya. Walaupun hal ini bisa menjadi kasus yang langka. Konstituen yang kemudian dirugikan. Ditipu aspirasinya oleh anggota legislatif bersangkutan.
Ketentuan “mengundurkan diri” dan “berhentinya keanggotaan parpol”, sebagai sayarat berhenti sebagai DPR, bisa menjadi pintu munculnya otoritarianime partai atau elit partai. Pintu munculnya “kekuasaan tak terbatas”.
Terdapat kecenderungan dinasti-dinasti politik memanfaatkan celah itu. Untuk meloloskan keluarganya dari mahkamah elektoral rakyat yang tidak mau memilihnya.
Bahkan ada kecenderungan mekanisme suara tertinggi hendak dikembalikan melalui sistem tertutup. Dengan dalih memicu maraknya korupsi. Agar para elit parpol bisa bermain pada nomer urut. Walaupun dukungan suara rakyat terhadapnya tidak memadai.