Mungkin pidato itu melebihi gegap gempita orasi Presiden Soekarno. Ketika pidatonya disusun oleh Nyoto. Kader rantai ke-tiga Partai Komunis. Melalui untaian pidato hiperpolik, dan sastrawi.
Bedanya, poin-poin pidato Presiden Prabowo disusun dalam untaian datar. Bercorak akademik. Tetap ada kekakuan ketika disampaikan dalam gaya berapi-api. Apalagi Presiden Prabowo ditempa militer. Style militernya tetap tidak bisa diingkari.
Prabowo bukanlah seniman panggung sebagaimana Presiden Soekarno. Prabowo seorang komandan tempur. Terbiasa bekerja secara skematis dalam menghadapi persoalan. Bukan retoris.
Tapi pidatonya cukup bisa ditangkap. Dimengerti. Apa gemuruh batin terdalam yang hendak ia perjuangkan terdeliver.
Mungkin sebagia besar rakyat juga mengakui. Pidato Presiden Prabowo itu mewakili suara batinnya. Cocok dengan keresahan rakyat selama ini.
Problem besarnya: bagaimana mendeliver spirit besar itu dalam realitas. Seberapa mampu para pembantunya menerjemahkan kedalam skema agenda kebijakan dan program. Untuk segera mewujudkan apa yang diinginkan Presiden itu.
Salah satunya pengelolaan energi. Presiden Prabowo ingin berdaulat. Ingin mewujudkan amanat Pasal 33 UUD 1945. Memanfaatkan sebesar-besarnya: “bumi, air dan yang terkandung di dalamnya” untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Termasuk energi.
Realitasnya energi negara ini di ekspor untuk menggerakkan ekonomi negara lain. Bahkan pada saat dalam negeri mengalami kelangkaan energi. Kita memiliki sumber cadangan energi yang besar. Akan tetapi kita pengimpor energi dalam jumlah besar.
Kita pernah mengalami kelangkaan pupuk karena pabriknya kekurangan gas. Sementara kita ekspor gas dalam jumlah besar.