Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
“Kau jangan setia pada Prabowo Subianto. Setialah pada bangsa dan negara. Inti pendidikan di sini, adalah disiplin dan kesetiaan”. Begitulah instruksi Presiden Prabowo. Ketika pembekalan menteri kabinet di Lembah Tidar lebih seminggu lalu. Sebagaimana potongan-potongan video pidatonya bermunculan di beranda youtube.
Pidato itu memiliki makna setidaknya dua hal.
Pertama, Presiden Prabowo menetapkan parameter loyalitas. Adalah ketaatan dan kesetiaan pada bangsa dan negara. Bukan pada personalitas pimpinan. Kesetiaan itu harus dirawat dan dipedomani secara disiplin. Termasuk dalam menjalankan tugas-tugasnya juga harus dengan disiplin.
Ia memberikan guidance pada segenap kabinetnya. Kepada siapa harus setia. Bukan ABS (Asal Bapak Senang) yang ia harapkan. Melainkan kesetiaan pada bangsa dan negara. Disiplin dalam menjaga kesetiaan dan disiplin dalam melaksanakan pekerjaannya.
Kedua, Presiden Prabowo menciptakan musuh bersama dalam kabinetnya. Ialah ketidaksetiaan pada bangsa dan negara. Pada ketidakdisiplinan memegang teguh kesetiaan pada bangsa dan negara. Pada ketidakdisiplinan dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Ketika ketidaksetiaan dan ketidakdisiplinan itu terjadi, yang bersangkutan akan menjadi musuh para loyalis bangsa dan negara. Para pembela bangsa dan negara. Berhadapan dengan rakyat. Bukan hanya akan berhadapan pada presiden secara personal.
Mungkin begitu pesan yang hendak disampaikan.
Statemen itu tidak hanya —setidaknya melalui kesan pidatonya— merobek kultus atau loyalitas buta kepada presiden secara personal. Melainkan merobek pula loyalitas buta pada kelompok, golongan, maupun komunitas politik. Ia gariskan secara tegas definisi loyalitas. Ialah kesetiaan pada bangsa dan negara.