Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
“Kosong. Ke Luar Negeri”. Itulah jawabanya. Ketika sejumlah pihak —terutama orang daerah— hendak bertemu pejabat di Jakarta pada sepertiga akhir Desember.
Jawaban itu menggambarkan setiap akhir tahun para pejabat berbondong-bodong liburan ke LN. Sudah tidak di tempat kerjanya lagi. Bertemu pejabat pada akhir tahun merupakan kesia-siaan. Harus dihindari.
Itu dulu. Beberapa tahun lalu. Entah sekarang. Setelah memperoleh warning dari Presiden Prabowo. Pejabat harus mengurangi perjalanan ke LN.
Sebelum pandemi Covid-19, tercatat 11, 32 juta pertahun orang Indonesia liburan ke LN. Data Bank Indonesia (DetikFinance, 8-4-2021), sebanyak orang itu menggabiskan uang sebesar US$ 22,32 miliar. Setara Rp. 164 T (kurs Rp 14.568).
Bisa kita bayangkan. Uang sebanyak itu ketika digunakan menggerakkan pariwisata dalam negeri. Separonya saja, misalnya.
Pertanyaan lain: dari segmen mana kemampuan belanja wisata itu. Para profesional kita?. Bukankah kelas menengah kita menurun daya belinya. Atau para pejabat?. Jika pejabat, betapa tajirnya pejabat kita. Uang halal atau uang korupsi?. Dan seterusnya.
Berdasar data traveloka, ada 7 destinasi negara favorit bagi wisatawan Indonesia. Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang, Vietnam, Hong Kong, dan Korea Selatan.
Menjadi pertanyaan pula agenda perjalanan ke LN itu. Shopping ide: belanja inisiatif-inisiatif baru. Sebagai inspirasi mendongkrak inovasi dalam negeri. Atau sekedar aktivitas konsumerisme belaka. Jalan-jalan, menikmati kuliner, destinasi-destinasi wisata ataupun kegiatan “healing” lainnya. Menghilangkan stres dan melepaskan dari beban kesuntukan pekerjaan?.