Mengisahkan sebuah dangau (gubug, saung) di tepi hutan. Masih belum hilang tanda merah di dinding dangau itu. Tanda pasangan cintanya masih perawan. Sebuah kisah hubungan laki-laki dan perempuan. Tentu saja tanpa nikah. Menjadi kisah “memorable”. Sangat dikenang sebagai perjuangan cinta.
Lagu itu disadari atau tidak, akan terus menginfluence masyarakat. Termasuk anak-anak. Bahwa hubungan di luar nikah itu bisa dimaklumi. Demi Cinta. Kejadian dalam “dangau cinta” itu bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak, atau bahkan orang dewasa untuk menirunya.
Pada era-era seperti itu GM muncul membersamai para pelaku seni itu. Diajak pengajian. Termasuk mempopulerkan sholawatan dengan pelantunan lagu-lagu popular. Syairnya diganti sholawat.
Mungkin karena tuntutan peran sebagai “guru masyarakat” pada segmen “outlaws” itu, GM menjadi sosok lugas. Ceplas-ceplos. Bahkan sering melakukan dirty jokes. Candaan-candaan tidak taat norma. Berdasarkan standar kelaziman norma pada masyarakat.
Pertanyaanya kenapa GM melakukan Dirty Jokes?. Atau lebih tepatnya untuk apa GM harus membuat dirty jokes. Bahkan di tengah-tengah dakwahnya?
Kita hanya bisa menduga-duganya.
Pertama, untuk menyejiwa dengan kaum “outlaws” itu. Agar tidak terjadi resisten. Bahwa sebagai pendakwah, GM berbeda dengan pendakwah-pendakwah lain yang memandang rendah kalangan itu. Selama ini kalangan itu dikesankannya sebagai “korak”. Kotoran rakyat. Para calon penghuni neraka. Para moralis cenderung berfatwa untuk menjauhi.
Melalui dirty jokes itu, GM seakan menyampaikan pesan. “Nih gue, sama dengan eloe. Kita sejiwa. Gue bagian eloe”. Akhirnya GM diterima kalangan itu tanpa resisten.